Museum Sejarah Alam Bandung
Hampir 200 tahun Kota Bandung tumbuh berkembang. Kenangannya seolah-olah hilang tererosi dari benak warga kota, seperti batu basal di Curug Dago yang tergerus arus Cikapundung.
Tahun 1972, Situ Aksan, satu-satunya danau yang masih tersisa di Kota Bandung saat itu, masih ramai sebagai tempat rekreasi favorit. Itulah pengingat terakhir bahwa Bandung pernah menjadi danau luas di zaman purbakala sebelum situ itu diuruk menjadi perumahan pada awal 1980-an. Masih juga terbayang ramainya Alun-alun Bandung (yang benar-benar alun-alun dengan lapangan luas) oleh ledakan petasan selama Ramadhan. Masih terbayang asyiknya naik delman sekeluarga mengunjungi rumah nenek dari Jalan Pasundan ke Jalan Garuda (sekarang Jalan Nurtanio) saat Lebaran tiba. Itulah secuil kenangan indah warga kota akan perjalanan kotanya. Kenangan ini akan terpatri lebih panjang bagi warga senior yang lebih dahulu lahir atau bermukim.
Kenangan warga kota seperti itu akan hilang dengan sendirinya seiring wafatnya warga kota jika tidak segera dilestarikan, misalnya dalam bentuk buku seperti Bandoeng Tempo Doeloe oleh (almarhum) Haryoto Kunto. Sungguh sangat besar jasa almarhum yang membuat perjalanan kota ini terabadikan untuk dapat dikenang oleh generasi ke generasi berikutnya.
Museum kota
Di luar Bandung, kenangan akan sebuah kota terpatri ke Niigata. Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang selalu menghargai leluhur, termasuk “leluhur alam”. Bagi mereka, semua makhluk memiliki jiwa yang patut dikenang. Penghargaan itu salah satunya diwujudkan dalam bentuk museum.
Di Jepang, museum tidak melulu sebuah bangunan. Kenangan akan riwayat sebuah jembatan yang melintas Sungai Shinano di Niigata, misalnya, cukup diwujudkan dalam panel-panel di pojok sisi jembatan. Pembangunan terowongan Shimizu yang menembus pegunungan Alpen Jepang yang menghubungkan Tokyo-Niigata diabadikan pada bangunan museum kecil di tempat istirahat di jalan tol sebelum pengemudi memasuki terowongan sepanjang 11 kilometer itu.
Museum-museum tematis di pelosok kota kemudian dikompilasi pada museum kota. Isinya adalah perjalanan panjang sejarah alam dimulai sejak zaman-zaman geologis ketika kota masih berupa alam liar dengan para penghuni sebelum manusia. Bahkan, kota-kota kecil setingkat kecamatan pun tidak mau kalah untuk menampilkan sejarah alam kotanya. Ada saja warga yang mengunjungi museum kota hanya untuk tercenung memandang peninggalan berupa fosil, artefak, foto, maket, atau apa pun yang menjadi ciri perkembangan kota dari zaman ke zaman.
Bagi wisatawan, museum kota merupakan pusat informasi wisata kota. Dalam kunjungan singkat wisatawan yang kebetulan datang ke suatu kota bukan dalam paket wisata, mereka bisa menentukan destinasi di dalam kota yang ingin dikunjungi dari informasi yang didapat di museum kota. Kota Bandung dengan sejarahnya yang panjang pantas memiliki museum sejarah alam kota. Koleksi museum dan informasinya dapat terentang dari kota yang berada di Cekungan Bandung ini masih berupa laut hingga empat juta tahun lalu, menjadi daratan sejak dua juta tahun lalu, menjadi danau sejak 125.000 tahun lampau, sampai mengering sejak 16.000 tahun lalu.
Jejak-jejak permukiman purbakala ditemukan dengan data melimpah di perbukitan Dago Pakar. Alat-alat batu dari bahan obsidian yang tersebar berserakan di sekitar titik geodetik KQ380 menunjukkan betapa tingginya budaya leluhur masyarakat Bandung purba sekitar 6.000 tahun lalu. Mereka bahkan telah piawai membuat permukiman dengan parit-parit perlindungan. Sayang, bukti-bukti itu sekarang banyak digilas dan diratakan mesin-mesin buldoser untuk perumahan mewah dan vila-vila! Untungnya, bukti-bukti keberadaan sang arsitek purbakala ditemukan sebagai kerangka meringkuk di Situs Goa Pawon.
Museum alam
Dengan berlimpahnya peninggalan artefak purbakala di Bandung utara itu, pada 1917 pernah tercetus ide dari Dr W Docters van Leeuwen untuk mendirikan Museum Alam Terbuka Sunda (Soenda Openlucht Museum). Namun, Perang Dunia II mengubur cita-cita dokter Belanda itu, apalagi sekarang ketika arus utama pembangunan kota diarahkan ke manfaat ekonomi secara cepat. Satu contoh mengenaskan adalah situs tumpukan batu pasir Panyandaan di utara Terminal Cicaheum, yang anehnya, tanah di sekelilingnya dikuasai sebagai hak milik pribadi.
Daftar isi museum akan semakin panjang setelah secara resmi Kota Bandung didirikan oleh Bupati Wiranatakusumah II di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels pada 1810. Seiring dengan 200 tahun peringatan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan pada 2008, Bandung mencatatkan dirinya sebagai bagian dari sejarah penting masa-masa kesengsaraan penjajahan itu.
Informasi sejarah kota akan semakin lengkap terkoleksi ketika Kota Bandung memasuki abad ke-20. Mungkin di antaranya dimulai dari Situs Curug Dago yang memberi kebanggaan kita sebagai warga kota karena pernah dikunjungi raja besar Thailand, Raja Rama V, ketika pada 1902 membuat prasasti batu tulis. Batu tulis kedua dibuat cucunya pada 1927. Lalu tentu ketika Bandung berada pada zaman keemasannya di 1920-1930.
Kota ini pun mencatat sejarah yang wangi saat sang proklamator Bung Karno tinggal dan berjuang di Bandung untuk kemerdekaan. Rumah Ibu Inggit di Ciateul, Kampus ITB, penjara Banceuy di Jalan Banceuy yang sekarang hanya menyisakan sel dan gardunya, Gedung Indonesia Menggugat, penjara Sukamiskin, dan karya-karya arsitektur Ir Soekarno merupakan artefak perjalanan kota ini. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, sejarah Kota Bandung tercatat dengan harum. Kita tentu tidak akan pernah lupa dengan peristiwa Bandung Lautan Api 1946 dan Konferensi Asia-Afrika 1955.
Tentu saja, para wali kota Bandung (dan para bupati Bandung sebelum menjadi kota) harus menjadi kenangan yang terekam di Museum Sejarah Alam Kota Bandung. Di tangan merekalah Kota Bandung dikembangkan, terlepas apakah bersifat positif atau negatif terhadap pertumbuhan sebuah kota.
Menjelang Bandung dua abad, kesempatan emas untuk mencatatkan sejarah dengan tinta emas bagi Kota Bandung. Ruang terbuka hijau yang sudah ada, seperti Babakan Siliwangi, jangan lagi digusur untuk konstruksi beton. Dirikanlah Museum Kota.
Dr.Ir. BUDI BRAHMANTYO Kepala Pusat Perencanaan dan Pengembangan Kepariwisataan Institut Teknologi Bandung, Dosen Geologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung
Sumber (http://cetak.kompas.com/jabar edisi 25 September 2008)
Hits: 128
No Comments