Enter your keyword

Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB)

Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB)

Demi Geologi Bandung

SECANGKIR teh, potongan kue kecil Idulfitri, meja bundar melingkar, dan perbincangan hangat tentang gempa bumi Pangalengan. Begitulah suasana silaturahmi anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) pasca-Idulfitri. Mereka adalah sembilan dari sebelas anggota inti KRCB yang mendiskusikan tentang persoalan-persoalan geologi Bandung.

krcb-group-photo-260909

KRCB dari kiri ke kanan: Bandono, Johan Arif, A.T. Rahardjo, Iwan Darmasetiawan, T. Bachtiar, Sujatmiko, Budi Brahmantyo, Indyo Pratomo, dan Eko Yulianto, di sekretariat KRCB Jl. Pajajaran 128 Bandung.

“Ini sebetulnya rumah tinggal Pak Miko (Sujatmiko, sekretaris KRCB,-red.), tetapi memang di sinilah sekretariat kita,” ujar Ketua KRCB Budi Brahmantyo, saat “PR” bertandang ke sekretariat KRCB, Jln. Pajajaran 128 Bandung, Jumat (25/9).

KRCB berdiri pertama kali 12 Desember 2000. Tujuannya untuk memberikan “sesuatu” yang berarti bagi Bandung, kota yang sangat dicintai para penghuninya. “Karena kita sebagian besar anggotanya geolog, maka sumbangan pemikiran tentang geologi pula yang ingin kita berikan untuk Bandung,” ujar Budi.

Kelompok jalan-jalan

Awalnya, kata Budi, tahun 1999 beberapa dosen dan alumnus Departemen Teknik Geologi ITB merasakan adanya kekurangan dalam pengetahuan Geologi Bandung. Pengetahuan tentang Geologi Bandung terutama di kalangan mahasiswa, seakan-akan berhenti pada van Bemmelen (1949).

Meskipun banyak penelitian dan publikasi yang keluar saat itu, tetapi publikasi van Bemmelen 1949 masih diandalkan. Bahkan mahasiswa Geologi yang telah menempuh kuliahnya selama 4-5 tahun, saat ditanya tentang kebumian di Bandung, tidak dapat menjawabnya dengan lantang: bagaimana sesungguhnya peta dan kondisi kebumian Bandung.

Berangkat dari kebutuhan itulah beberapa dosen Geologi ITB dan peneliti Puslitbang, Geoteknologi LIPI mengajak serta mahasiswa untuk sekadar me-refresh Geologi Bandung melalui kegiatan jalan-jalan, sehingga terbentuklah kelompok jalan-jalan yang diberi nama Kelompok Riset.

Ide jalan-jalan ini, menurut Budi, dipicu pula oleh pengalaman beberapa dosen dan peneliti yang pernah bersekolah di Jepang. Di sana terdapat sekelompok orang yang terdiri atas dosen, peneliti, mahasiswa, guru sekolah menengah, bahkan pihak swasta dan masyarakat yang selalu menggelar agenda jalan-jalan.

Menariknya, kata Budi, setiap anggota kelompok ini selalu memosisikan dirinya sebagai “Saya tidak tahu dan ingin tahu”. Prinsip inilah yang kemudian dikembangkan Budi di KRCB. “Makanya, di KRCB itu tidak ada unggah-ungguh. Semuanya berjalan berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman masing-masing. Tidak sedikit profesor yang tetap hormat dan menghargai terhadap anggota belia sekalipun,” ujar Budi.

Hal itu tampak bila KRCB menggelar simposium atau lokakarya. Seorang guru besar akan tetap mengangguk-angguk tanda setuju terhadap pandangan yang disampaikan para pembicara. Padahal, bisa saja pemakalah tersebut berusia masih sangat muda.

“Di KRCB justru kekakuan atau hal-hal rigid seperti itu harus ditinggalkan. Pada saat membicarakan KRCB, maka posisinya sama walaupun mungkin ada saja orang yang sudah menduduki jabatan tertentu. Justru kita tidak ingin di KRCB ini muncul seseorang yang merasa lebih atau kurang. Tetapi semuanya sama, egaliter dalam bergaul tanpa harus mengurangi rasa hormat satu sama lain,” ujar Budi.

Uji coba

Ide jalan-jalan Kelompok Riset ini sudah dimulai sejak 1999. Waktu itu, kata Budi, mereka konsetrasi terhadap Cekungan Bandung dan bertahan sampai 2004. Cekungan Bandung ini meliputi kawasan Karst Citatah, Saguling, Aliran Ci Meta dan Ci Taruna, Sesar Lembang, dan Gunung Tangkubanparahu.

Sedangkan untuk kawasan selatan, Cekungan Cicalengka dan Nagreg menjadi dua lokasi pengawasan dan penelitian KRCB. Pencapainnya pun luar biasa, hasil penjelajahan Cekungan Bandung ini adalah penemuan artefak prasejarah di Guwa Pawon.

Penemuan yang spektakuler ini merupakan kesuksesan penerapan konsep geologi dan pengunaan metoda geofisika. Menurut Budi, penelitian ini juga menggunakan geomagnetik (magnet bumi) yang dapat membaca segala kandungan dalam perut bumi.

Dengan temuan tersebut, akhirnya kelompok jalan-jalan ini mendirikan Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) atau Bandung Basin Research Group (BBRG). Dana yang digunakan pun didapat dari saku masing-masing anggota yang sering kali “on/off” kehadirannya. Kendati begitu, ada sebelas orang perintis yang sampai sekarang terus “on” menggerakkan KRCB.

Sebelas orang itulah yang kini menggerakkan KRCB. Bukan saja menjalankan roda kegiatan, tetapi juga bersinergi dengan berbagai wadah yang juga konsep terhadap masalah-masalah kebumian dan lingkungan Bandung. Seperti Kelompok Mahanagari, Kelompok LPPM ITB, BPLHD, Kopassus, Museum Sribaduga, Disbudpar Jawa Barat, Himpunan Geograf, Himpunan Geolog, hingga Air Photography.

Semakin banyak hubungan kerja sama dengan berbagai pihak, kata Budi, akan semakin banyak masyarakat tahu tentang kebumian dan lingkungan Bandung yang sesungguhnya. “Dengan Air Photography misalnya, kita sengaja bekerja sama mengadakan lomba fotografi tentang penyelamatan Karst Citatah. Animonya bagus sekali dan hasilnya masyarakat bisa tahu kerusakan lingkungan akan berdampak buruk terhadap asal muasal manusia sesungguhnya,” tutur Budi.

Saku pribadi

Alasan KRCB dibentuk antara lain untuk mengembangkan ilmu kebumian dan aspek aplikasinya di wilayah cekungan Bandung dan sekitarnya melalui riset. Menyebarluaskan hasil-hasil temuan dan riset itu secara ilmiah di kalangan ilmu kebumian dan kepada pemerintah terkait serta masyarakat luas, diharapkan akan memberikan sumbangan pemikiran dalam pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan hasil-hasil penelitian.

Contohnya selama ini, kata Budi, sangat sedikit pemerintah daerah yang menyadari potensi maupun bahaya yang terkandung di dalam bumi. Bila riset terus dilakukan dan hasilnya diberikan kepada pemerintah, diharapkan pemerintah peduli dengan kondisi kebumian dan lingkungannya. “Contoh kawasan batu kapur Citatah, Padalarang. Akibat terjadi pengerukan liar yang terus menerus, situs-situs yang ada di kawasan itu terancam bahkan sudah rusak,” ungkapnya.

Kendati tidak mudah memberikan pemahaman kebumian dan lingkungan seperti itu kepada pemerintah maupun masyarakat setempat, KRCB tetap jalan terus. Padahal, semua kegiatannya hanya didanai dari uang saku pribadi anggota. Kalaupun harus ada pemakaian alat-alat berat, biasanya mendapatkan bantuan dari lembaga-lembaga terkait. “Tapi untuk semua biaya riset, mulai dari pengumpulan data di lapangan sampai hasil riset itu disampaikan kepada masyarakat, semuanya dari uang saku pribadi kita,” ujar Budi.

Pencarian dana bukan jadi tujuan utama. KRCB juga ingin tetap menjaga independensi selaku organisasi profesi yang terbuka. Walaupun adakalanya bantuan akhirnya datang juga, terutama untuk penerbitan buku-buku hasil penelitian dan riset KRCB.

Buku-buku tersebut disebarluaskan ke berbagai instansi terkait. Termasuk sudah menjadi sumber rujukan baru tentang kebumian dan lingkungan Bandung di sekolah dan kampus. Tak mengherankan, bila eksistensi KRCB kini sudah menjadi lembaga yang diperhitungkan dalam tataran kebumian dan lingkungan di Bandung maupun nasional.

“Itulah harapan kita, mencintai lingkungan karena tahu dan mengerti apa yang terkandung di dalamnya. Ini demi Bandung masa lalu, sekarang, dan nanti,” ujar Budi. Satu lagi bentuk kecintaan masyarakat Bandung untuk kotanya tercinta! (Eriyanti/”PR”)***

Filosofi Setangkai Daun Singkong

krcb
SETANGKAI daun singkong adalah simbol yang dimiliki Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB). Setiap helai lengan daun adalah simbolisasi dari bentuk Gunung Tangkubanparahu. Bentuk perahu terbalik tersebut berputar serah jarum jam menjadi perahu dalam posisi normal.

Tangkai daun adalah simbolisasi Ci Tarum, sungai yang menjadi urat nadi Cekungan Bandung. Itu artinya, KRCB ingin mengetahui bumi Bandung dengan membalikkan tutupan (tangkuban) yang berbentuk perahu itu agar mengetahui ada apa di balik tutupannya.

Filosofi setangkai daun singkong ini dapat kita temui dalam buku Amanat Gua Pawon yang diterbitkan KRCB pada 2004 selepas keberhasilan spektakulernya menemukan situs manusia Gua Pawon.

Ada banyak kisah dan tradisi (kebiasaan) anggota KRCB dalam mempraktikkan filosofi setangkai daun singkong ini. Bukan saja dalam niatnya menguak Bandung dengan membalikkan perahu yang terbalik (nangkub) menjadi perahu biasa (normal), tetapi juga pelaksanaan riilnya di lapangan.

Tradisi yang biasa dilakukan anggota KRCB adalah botram. Menikmati hidangan lauk-pauk di alam bebas terbuka. Betapa tidak, anggota KRCB yang sebagian besar sudah berusia di atas 40 tahun harus rela keluar masuk Gua Pawon, misalnya demi menemukan jawaban dari misteri Cekungan Bandung.

Hasilnya, mereka harus selalu membawa bekal makan dan minum dari rumah. Namun, justru rehat sejenak dengan botram (makan bersama di alam terbuka) inilah, anggota KRCB satu sama lain begitu akrab, begitu dekat. Tidak ada sekat antara yang satu dan lainnya.

Padahal, kalau melihat profesi di luar KRCB, semuanya mempunyai jabatan ataupun posisi strategis di bidangnya masih-masing. Akan tetapi, pada saat mereka bergabung di KRCB dan berbuat untuk KRCB – yang berarti juga berbuat untuk Bandung dan bangsa ini – semua predikat dan jabatan itu justru ditanggalkan.

Mereka tidak hanya kompak dalam diskusi, lokakarya, ataupun seminar, tapi juga saat di lapangan. Perilaku ini, menurut Ketua KRCB Budi Brahmantyo, justru menjadi penguat ikatan keanggotaan satu sama lain. Ini penting, sebab hakikat meneliti menurut Budi adalah konsisten. “Konsistensi inilah yang kita butuhkan pada saat kita membuka misteri helai demi helai filosofi setangkai daun singkong ini. Ada apa gerangan di dalamnya,” ujarnya.

Kini, KRCB sudah berusia sembilan tahun, bukan hal mudah bagi KRCB untuk konsisten menjalani semua janjinya dengan sayang terhadap Bandung. Walaupun begitu, Budi maupun anggota KRCB tetap masih merasa pesimistis mengingat masih banyaknya kepada daerah yang tidak “ngeh” dengan potensi bumi dan lingkungan sekitar.

“Kalau salah urus, bisa hancur. Begitu juga kalau dibiarkan, tidak ada misteri ilmu pengetahuan yang akan terkuak dari misteri Cekungan Bandung ini,” ujar Miko. (Eriyanti/”PR”)***

Sumber (KOMUNITAS PIKIRAN RAKYAT, 27 September 2009) Ext http://blog.fitb.itb.ac.id//BBrahmantyo

Hits: 265

No Comments

Post a Comment

Your email address will not be published.

EnglishIndonesia