Di Laut Memanen Bahan Bakar Nabati
Menyurutnya minyak di perut bumi mendorong semangat para peneliti memburu energi alternatif ke mana pun, bahkan hingga ke laut. Selain energi dari gelombang dan arus, tumbuhan yang hidup di sana pun memendam energi melimpah, bahkan bakal menjadi ”emas hijau” pada masa mendatang. Jika itu terjadi, pemilik kendaraan bermotor tak perlu antre seharian untuk mendapat bahan bakar minyak.
Memiliki 81.000 kilometer panjang pantai atau pesisir—terpanjang di dunia setelah Kanada—terbayang besarnya peluang Indonesia untuk kembali menjadi pengekspor minyak. Kali ini yang dipasarkan adalah bahan bakar nabati (BBN), bukan lagi bahan bakar minyak (BBM).
Indonesia sebagai pemilik perairan tropis terluas di bumi berpotensi menjadi penghasil BBN terbesar di dunia. Dengan kelimpahan sinar matahari sebagai bahan fotosintesa tumbuhan, perkembangbiakan biota lautnya jauh lebih tinggi dibanding di daerah subtropis.
Dari beragam sumber daya hayati perairan Nusantara, jenis mikroalga (ganggang mikro) kini mulai jadi fokus penelitian karena potensinya sebagai bahan baku penghasil BBN. Selama ini sejumlah mikroalga terbatas dikembangkan untuk bahan baku kosmetik dan farmasi.
Saat ini negara yang gencar membudidayakan mikroalga sebagai BBN adalah Amerika Serikat, Spanyol, dan Belanda. Mereka menggunakan spesies Botryoccocus braunii dari jenis mikroalga hijau. Namun, karena paparan sinar mataharinya terbatas, produktivitasnya rendah.
Sejak 2006, Mujizat Kawaroe dan timnya dari Surfactant and Bioenergy Research Center Institut Pertanian Bogor (SBRC-IPB) telah menemukan bukti tingginya keragaman mikroalga dan produktivitasnya.
Dari empat lokasi pesisir yang diteliti selama dua tahun terakhir, yaitu Kepulauan Seribu, Manado, kawasan Laut Arafura, dan pulau Batam, ia telah menemukan 11 spesies mikroalga.
Dalam penelitian biokultur mikroalga sejak 1980-an, dihasilkan 1 ton mikroalga per meter kubik air. Di antaranya yang potensial sebagai BBN adalah Chlorella—memiliki kandungan minyak mentah maksimal 32 persen, Dunaliella (23 persen), Isochrysis galbana (35 persen), dan Nannochloropsis oculata (68 persen).
Nilai lebih
Mikroalga yang biasa disebut fitoplankton, karena menyerap karbondioksida dan nutrien secara efektif dapat tumbuh cepat dan bisa dipanen dalam empat hingga 10 hari. Produktivitas 30 kali lebih banyak dibanding tumbuhan darat. Kelapa sawit, misalnya, perlu waktu 5 bulan, sedangkan jatropa atau jarak pagar perlu 3 bulan.
Lalu bila dibanding minyak bumi yang sulit mencari sumbernya dan perlu proses yang rumit dan mahal, mikroalga juga unggul. Pada 1 hektar ladang minyak bumi hanya bisa disedot 0,83 barrel minyak per hari, sedangkan pada luas yang sama budidaya mikroalga menghasilkan 2 barrel BBN.
Nilai lebih lain, antara lain, adalah sifat sumbernya yang terbarukan dan ramah lingkungan. Pada tahap budidaya, perkembangbiakan mikroalga juga meningkat 2,5 kali bila ke dalam kolom airnya dipasok CO2 , dibandingkan hanya dengan aerasi atau suplai O2. Untuk menghasilkan 5 ton mikroalga setiap hari diperlukan 1 kg CO2.Total butuh 10 kg CO2 hingga panen.
Ini artinya kultivasi mikroalga berpeluang mengatasi masalah lingkungan global, karena selama ini CO2 jadi gas pencemar dominan yang menyebabkan efek rumah kaca penyebab pemanasan global. ”Karena itu, dengan budidaya ini, Indonesia berpeluang mendapat dana dari negara maju,” saran Mujizat.
Di sisi industri, keberadaan budidaya ini untuk menyerap emisi CO2 dari pabriknya mendukung pencapaian peringkat hijau industri yang ramah lingkungan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Pada tahap pengolahan mikroalga menjadi BBN, juga tidak timbul zat pencemar karena limbahnya 100 persen jadi pakan ternak.
Budidaya mikroalga dikembangkan di dekat habitat alaminya. Karena di situlah lingkungan yang paling nyaman bagi jasad renik itu berkembang biak.
Untuk pengembangan budidaya mikroalga, SBRC-IPB akan bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dalam pemanfaatan kawasan pesisir dan pemberdayaan masyarakatnya agar terentas dari kemiskinan. Mujizat mengharap dukungan dari semua kalangan terutama industri nasional untuk tahap komersial.
Bahan bakar alga
Dalam tubuh mikroalga terkandung protein (50 persen), lemak (30 persen), dan karbohidrat (20 persen). Dari lemak diekstraksi menjadi biodiesel, sedangkan karbohidrat bioetanol untuk menggantikan bensin.
Untuk menghasilkan BBN, mikroalga disaring, dikeringkan, dan diekstraksi. Pada tahap berikutnya, untuk menghasilkan biodiesel dilakukan pemurnian dan esterifikasi untuk mengurai lemak menjadi hidrokarbon.
Selanjutnya ampas atau residu pada proses tersebut di distilasi untuk menghasilkan bioetanol. Sisa dari tahap kedua ini mengandung protein yang diolah menjadi pakan ternak.
Proses pembuatan BBN dari mikroalga laut tropis ini telah didaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atas nama Mujizat Kawaroe, April lalu. Risetnya lalu meningkat pada upaya menaikkan kandungan lipid. Penemuan enzim ini juga akan dipatenkannya.
Mengetahui hasil penelitian Mujizat, pihak asing berbondong-bondong menawarkan kerja sama eksklusif dengan pihak IPB. Tawaran itu ditampiknya. Ia memilih kerja sama terbuka, bahkan ia cenderung bekerja sama dengan industri nasional.
Dalam seminar berjudul ”Oil Algae: The Next Prospective Environmental Biofuel Feedstock” di Bogor, Selasa (26/8), SBRC- IPB menyepakati kerja sama dengan PT Diatoms Cell Energy, Biomac Corp Sdn Bhd (Malaysia), dan Supreme Biotechnologies Ltd (Selandia Baru). Perusahaan nasional Diatoms Cell Energy akan menampung semua hasil penelitian dan mendanai peningkatan teknologinya.
Perusahaan ini menyediakan dua lokasi budidaya, yaitu di Cilamaya (Sukabumi) dan di Pulau Natuna (Kepulauan Riau), dikaitkan dengan suplai CO2 dari hasil samping kilang minyak.
Dalam program kerja sama itu, SCRC-IPB menargetkan tahun 2011 melakukan studi kelayakan dan uji penggunaan pada kendaraan bermotor, dan dalam lima tahun mendirikan pabrik percontohan.
Sumber (http://cetak.kompas.com)
Hits: 126
No Comments