Pesisir Selatan Rawan Badai
BANDUNG, (PR).-
Enam belas titik di daerah pantai selatan Jawa rawan terjangan badai yang disertai gelombang tinggi di laut. Berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi Geologi (BMKG), selama 41 tahun puncak gelombang tinggi biasanya terjadi pada bulan Januari sampai Maret setiap tahunnya.
Hal itu dikemukakan ahli oseanografi Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Eng. Nining Sari Ningsih, saat ditemui di sela-sela seminar “Mengelola Risiko Bencana di Negara Maritim Indonesia, Pemikiran Selangkah ke Depan Kearifan ITB” di Gedung Balai Pertemuan Ilmiah ITB, Jln. Surapati No. 1 Kota Bandung, Sabtu (24/1).
“Zonasi daerah rawan gelombang badai tersebut didapatkan berdasarkan studi kasus badai Jacob dan George dari Australia pada Maret 2007. Namun, data secara kualitatif hasil simulasi tersebut sama dengan laporan media massa saat terjadi badai di Laut Afrika Selatan pada Mei 2007,” ujarnya.
Keenam belas titik yang rawan tersebut adalah Tanjung Tereleng, Karang Taraje, Palabuhanratu, Teluk Ciletuh, Pameungpeuk, Tanjung Gedeh, Parigi, Teluk Pananjung, Nusakambangan, Tanjung Karang Batu, Pacitan, Munjungan, Teluk Tapen, Tanjung Pelindu, Tanjung Pisang, dan Tanjung Purwa.
Nining mengatakan, gelombang tinggi di laut tersebut berbahaya bagi nelayan dan juga berpengaruh pada penduduk di sekitar pantai. Badai menyebabkan permukaan air naik ke darat melebihi tinggi ketika pasang. Pada kasus di Palabuhanratu Kab. Sukabumi, air yang naik ke daratan dapat mencapai sejauh lebih dari 100 meter dengan tinggi 50 cm dari bibir pantai. Kejadian itu disebut rob atau dikenal dengan banjir yang disebabkan naiknya air laut yang salah satu penyebabnya adalah badai.
Meskipun demikian, menurut Nining, kajian tersebut masih perlu diverifikasi lagi dengan data di lapangan. “Dengan demikian untuk selanjutnya akan mendapatkan data kuantitatif mengenai tinggi gelombang, tinggi air di masing-masing wilayah, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Nining mengungkapkan, zonasi daerah rawan bencana gelombang ekstrem ini merupakan hasil penelitian yang dapat digunakan untuk mitigasi bencana laut, terutama di daerah pesisir. Dengan demikian, tutur dia, mitigasi tersebut dapat mereduksi jumlah korban dan kerusakan lingkungan.
“Zonasi ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam membangun daerah pesisir secara tepat, terintegrasi, dan efisien,” ucapnya.
Nining mengatakan, rob tidak hanya berdampak pada kehidupan sosial dan kesehatan masyarakat, namun juga ekonomi. Ia mencontohkan banjir yang terjadi di Muara Baru Jakarta, yang menyebabkan para pengusaha ikan di tempat tersebut merugi hingga Rp 10 miliar per hari.
Menurut dia, kerusakan dan korban akibat bencana gelombang ekstrem akan semakin parah karena turunnya daya dukung alam. Hal itu disebabkan karena adanya perubahan, kerusakan, dan bencana lingkungan akibat peningkatan kegiatan pembangunan, serta kebutuhan terhadap sumber daya alam.
Untuk itu, kata Nining, pemahaman mengenai dinamika penjalaran gelombang ekstrem merupakan hal yang penting untuk dikaji dalam pengelolaan kawasan pesisir. “Terutama bagi Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Nining juga mengungkapkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan oseanografi harus dimanfaatkan secara optimal. Hal itu disebabkan saat ini masih banyak penjalaran gelombang ekstrem dalam dinamika oseanografi yang belum terungkap di Indonesia.
Upaya mitigasi
Sementara itu, Kasubdit Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan, Subandono Diposaptono, mengatakan, ada dua mitigasi yang dilakukan untuk menanggulangi bencana di pesisir yaitu fisik dan nonfisik.
Subandono menjelaskan, mitigasi fisik dilakukan dengan membangun rumah panggung bagi masyarakat di sekitar pesisir. Penanggulangan tersebut juga dilakukaan dengan menanam vegetasi pantai.
Sementara mitigasi nonfisik dilakukan dengan membuat peta rawan bencana agar pengurangan risiko tidak mengalami disorientasi. (A-185)***
Hits: 125
No Comments