Nishiki, Kota Melek Bencana
Ada pengalaman menarik ketika penulis mengikuti ekskursi lapangan ke beberapa tempat di wilayah prefektur Mie, Jepang beberapa waktu yang lalu dalam rangka International Conference on Coastal Environment and Management: for the Future Human Lives in Coastal Regions (22-24 Februari 2009). Penyelenggara kegiatan ini Prof. Masatomo Umitsu dari Universitas Nagoya didukung oleh JSPS (Japan Society for the Promotion Science) Asia and Africa Science Platform Program.
Konferensi ini dihadiri beberapa negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan seperti Indonesia, Thailand, Vietnam, Banglades, dan Jepang sebagai tuan rumah. Topik konferensi sangat penting bagi Indonesia sebagai negara rentan bencana dengan bentangan wilayah pesisir salah satu terpanjang di dunia. Sangat sesuai dengan pernyataan Prof. Jan Sopaheluwakan dari LIPI sebagai pembicara kunci pada konferensi tersebut tentang perlunya identifikasi tantangan yang ada serta pentingnya pembangunan komunitas yang siap menghadapi bencana di wilayah pesisir. Ekskursi lapangan mengunjungi beberapa tempat yang pernah dilanda bencana seperti tsunami dan angin topan. Salah satu kota yang dikunjungi pada saat itu adalah kota Nishiki terletak di wilayah Taiki, prefektur Mie, Jepang Tengah.
Kaya mega-gempa
Kota Nishiki merupakan kota kecil dan bisa disebut “desa” karena jumlah penduduknya hanya sekitar 2.200 orang terletak di bawah lembah kecil dan di ujung teluk mengarah ke laut Pasifik. Penduduk kota ini sebagian besar matapencahariannya sebagai nelayan dan sisanya bertani. Menurut catatan, beberapa kali gempa dengan kekuatan di atas M7,0 pernah melanda Kota Nishiki. Gempa Meio merupakan gempa besar yang melanda kota ini pada 20 September 1498 dengan kekuatan M8,2-8,4. Mega-gempa terakhir yang menghantam kota kecil ini terjadi empat tahun lalu yaitu pada 5 September 2004 dengan kekuatan M7,4.
Salah satu gempa yang sempat menimbulkan tsunami dan menewaskan puluhan penduduk setempat adalah gempa Showa-Tonankai yang terjadi pada 7 Desember 1944 dengan kekuatan M7,9. Gempa inilah yang membuat penduduk lokal untuk secara bersama membangun skema pencegahan tsunami (tsunami prevention scheme).
Proses evakuasi menjadi salah satu komponen penting dalam menghadapi bencana tsunami. Bunyi sirene seperti apa yang mengharuskan mereka untuk segera meninggalkan tempat beraktivitas? Dan ke tempat perlindungan evakuasi sebelah mana yang harus mereka tuju? Di kota ini penduduk sudah paham betul dengan kedua pertanyaan di atas. Sirene tanda ada gempa dan kemungkinan menimbulkan tsunami sudah mereka pahami betul. Tempat evakuasi pun sudah begitu mereka kenal karena setiap detik, setiap jam dan setiap hari mereka lewati ketika akan melakukan aktivitas seperti yang mau melaut, bertani, berdagang, ke kantor pemerintahan, atau anak-anak yang akan pergi sekolah. Di setiap sudut kota ada tanda arah evakuasi. Ada yang menuju ke tempat evakuasi khusus yang dibangun oleh pemerintah setempat bahkan kuil atau kelenteng pun difungsikan sebagai tempat evakuasi oleh penduduk setempat.
Nishiki Tower
Dampak dari gempa yang disusul tsunami pada tahun 1944 menjadi bagian sejarah keberlanjutan Kota Nishiki sampai saat kini. Sebagai bentuk peringatan dan kenangan betapa dahsyatnya dampak bencana gempa dan tsunami saat itu dibangunlah Menara Nishiki (Nishiki Tower) pada tahun 1998. Menara ini mempunyai bentuk unik dengan tangga melingkar sampai ujung atas. Bagian atas berbentuk seperti kubah masjid. Bagian atas kubah dipasang lampu berbentuk runcing. Tinggi menara ini mencapai 22 meteran sampai bagian atas kubah. Lantai ke-4 dan ke-5 difungsikan sebagai tempat perlindungan dan evakuasi yang dapat menampung 500 orang.
Uniknya, menara ini juga difungsikan sebagai museum pada lantai 3, mengenang situasi saat terjadi gempa dan tsunami saat itu. Bahkan masih terpajang jam dinding asli terendam air laut saat terjadi tsunami sehingga tampak betul batas bagian bawah jam dinding agak kotor dibandingkan dengan bagian atasnya. Begitu cermatnya bangsa Jepang dalam menyimpan dan mengenang suatu benda yang dianggap bisa menjadi bahan pembelajaran untuk kemajuannya di masa mendatang. Menara ini dibangun bukan tanpa alasan. Menara ini dibangun untuk tempat perlindungan saat terjadi bencana, berfungsi juga sebagai tempat pertemuan komunitas setempat dan juga punya nilai simbol kedamaian sebagai wilayah tanpa bencana.
Membangun
budaya baru
Kemunculan mega-gempa dengan orde pengulangan ratusan tahun dapat pula menjadi periode waktu dalam membangun budaya baru. Budaya sadar akan terjadinya bencana di sekitar tempat kita (disaster awareness) dan budaya bagaimana cara menghindari bencana tersebut (mitigation awareness), bukan melawan bencana tersebut. Menghindari artinya melakukan cara-cara sistematis dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana tersebut, materi maupun non-materi. Ini yang terjadi di Jepang, khususnya di Kota Nishiki.
Bagaimana penduduk lokal sadar bahwa wilayahnya sangat rentan akan bencana gempa dan apa yang terjadi jika kekuatan gempa sangat dahsyat. Mereka pun secara bersama mengenali potensi tempat tinggalnya, mengenal secara geografis dan topografis serta mau untuk secara bersama pula membangun skema penanggulangan bencana yang tentunya dibantu oleh pemerintah setempat.
Teknologi peringatan dini terhadap bencana tertentu seperti tsunami sedemikian rumit dan mungkin sangat susah dipahami masyarakat awam. Teknologi adalah teknologi. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat dapat belajar dan membangun kebersamaan dalam menghadapi bencana. Basis komunitas sadar bencana inilah yang perlu dibangun secara sistematis dan berkelanjutan di Indonesia. Penduduk kota Nishiki melakukan semua ini. Begitu besar `penghargaan` yang diberikan oleh penduduk terhadap bencana yang pernah melanda tempat tinggal mereka.
Mereka selalu mengingat semua itu dalam bentuk dokumen yang tercatat dengan rapi, benda-benda yang masih tersisa dari amukan bencana kemudian dibingkai rapi dalam cerita di museum, bahkan memberikan tanda-tanda di setiap sudut kota yang mengingatkan seberapa tinggi air yang merendam kota mereka.
Pendekatannya sangat sederhana tetapi itu membuat penduduk menjadi ingat dan belajar, sehingga tertanam suatu budaya baru di masing-masing hati sanubarinya. Belum lagi bentuk pendekatan yang dilakukan terhadap anak-anak balita dan sekolah dasar. Kita perlu meniru Jepang dalam menanamkan nilai-nilai penting dalam kehidupannya termasuk membangun budaya baru, yaitu budaya tanggap terhadap bencana. (Ketut Wikantika, Center for Remote Sensing & Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB)***
Penulis:
Sumber http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=93628
Hits: 106
No Comments