Blink oleh Dr.Ir. Budi Brahmantyo, M.Sc.
Mendengar tiruan suara itu – blink – jadi teringat komedian Kang Ibing di Radio Mara berpuluh-puluh tahun lalu semasa pelajar SMA. Para pelajar jomblo yang tidak punya acara malam mingguan, biasanya segera memutar gelombang radionya ke Radio Mara mendengarkan celotehan Kang Ibing.
Sbling! itulah sebenarnya cerita Kang Ibing yang rada-rada pornografi – yang justru model-model cerita seperti itu, tidak dapat dipungkiri – sangat disukai. Ceritanya ada seorang wak haji iseng-iseng memasukkan “telunjuk saktinya” (yang bukan ada di jari tangan; tahu sendiri kan? Namanya juga rada pornografi), ke dalam botol kosong. Ketika ditarik dengan cepat, timbullah suara sbling! Merasa excited dengan kelakuannya itu dan karena juga menimbulkan suara yang asyik, wak haji melakukannya berkali-kali…sbling…sbling…sbling…
Tak dinyana, ada anak bengal memergoki kelakuan iseng wak haji. Wak haji panik bukan main. Maklum sebagai tokoh masyarakat dengan gelar haji, kelakuan itu sungguh akan menurunkan reputasinya di mata masyarakat. Dengan cepat ia menyogok si anak bengal dengan uang yang cukup lumayan, supaya kelakuannya tidak disebarluaskan.
Dasar anak bengal, tahu ada ATM berjalan, hal itu jadi ajang pemerasan yang sungguh nikmat. Jadi setiap ketemu wak haji, si anak bengal cukup berteriak “sbling!” dan buru-buru wak haji merogoh koceknya agar si anak bengal diam. Begitulah, rahasia antara wak haji dan si anak bengal tentang insiden sbling tetap tertutup rapat dalam waktu lama.
Rupanya ada anak lain yang memperhatikan tingkah si anak bengal dengan wak haji. Hebat benar kata-kata ajaib sbling bisa membuat wak haji merogoh kocek dan segera memberikan uangnya kepada si anak bengal, begitulah pikirnya, ah, apa salahnya kalau dicoba.
Lalu kesempatan itu datang ketika berpapasan dengan wak haji dekat sebuah balong alias kolam ikan. Dengan semangat 45 si anak segera menyongsong wak haji, dan berteriak “wak haji … sbling!”
Wak haji sekejapan terperanjat. Tapi berikutnya bukannya merogoh kocek, ia segera mencengkeram si anak itu dan membenamkan tubuhnya ke dalam lumpur kolam, “Sbling-sbling siah! Kamu mah tidak tahu riwayatnya!”
Blink*
Blink pasti berbeda dengan cerita haji sbling di atas. Tapi mungkin dapat dikait-kaitkan. Kalau intuisi wak haji bekerja bahwa perbuatannya pasti suatu saat akan dipergoki, blink, ia tidak akan melakukannya. Ada sesuatu yang salah yang seharusnya wak haji mengenalinya beberapa detik setelah niat itu muncul. Itulah blink yang tidak disadari oleh wak haji.
Beberapa tahun yang lalu ketika berkunjung ke Situs Manusia Purba Sangiran, seseorang mendekat sambil menawarkan suatu benda. Sekilas terlihat benda itu seperti cula. Orang itu mengatakan bahwa itu adalah fosil cula badak purba yang pernah hidup di Sangiran pada zaman purbakala.
Sebagai seorang geolog, saya mahfum bahwa Sangiran telah terkenal sebagai lokasi banyak temuan fosil-fosil vertebrata, bahkan manusia purba. Ketika disodorkan fosil cula itu, sekejap terkesiap juga. Asyik juga punya koleksi fosil cula badak dari Sangiran, begitu pikiran saya.
Namun beberapa detik kemudian menyelinap perasaan, atau pikiran, atau intuisi, atau naluri, atau entah apa, entah di otak atau di dalam hati: ah, masa sih cula? Itulah blink. Dua detik pertama yang menyangsikan kalau benda yang ditawarkan adalah fosil cula. Tetapi karena tertarik untuk mengoleksinya, akhirnya saya beli juga setelah tawar-menawar harga.
Setelah si penjual berlalu, akhirnya pemandu yang menemani saya memberi tahu kalau fosil itu bukan fosil cula, sekalipun berbentuk cula. Cula itu juga tidak diragukan sebagai fosil tulang. Tetapi fosil cula itu adalah fosil cula buatan dari fosil tulang fauna apapun (kemungkinan kerbau) yang kemudian diukir mirip cula badak. Pantesan banyak dijual pula fosil-fosil kacang tanah, kepiting lengkap dengan capitnya, dan banyak bentuk flora-fauna lain, bahkan – maaf – bentuk kelamin pria! Benar-benar keterlaluan!
Dua detik pertama keraguan akan fosil cula itulah yang menurut mantan wartawan Washington Post Malcolm Gladwell disebut blink. Dalam bukunya “Blink * Kemampuan Berpikir Cepat Tanpa Berpikir,” terbitan Gramedia 2009 Cetakan ke-8 , ia memulai bukunya dengan contoh kasus 1983 ketika Museum Getty hendak membeli patung Yunani antik kouros dari abad ke enam Sebelum Masehi. Waspada akan pemalsuan, pihak Museum Getty melakukan serangkaian pengujian ilmiah dengan mikroskop elektron, electrone microprobe, mass spectometry, X-ray diffraction, dan X-ray fluorescence, dengan tenaga-tenaga ahli yang mumpuni. Singkat cerita kesimpulan dari analisis ilmiah menunjukkan bahwa patung tersebut asli dan museum sepakat membelinya sekitar 10 juta dolar Amerika. Saat dipamerkan, beberapa ahli benda antik justru langsung menilai dalam dua detik pertama tentang perasaan mereka bahwa ada sesuatu yang salah dengan patung kouros tersebut. Penolakan intuitif itu membawa penyelidikan lebih lanjut. Selama berbulan-bulan kemudian terbukti bahwa patung adalah palsu.
Saya terpikat membeli buku ini ketika ada acara diskon 70% semua buku pada pembukaan toko buku baru “Rumah Buku” di Jl. Supratman, Bandung, setelah membaca sinopsis buku di sampul belakang: blink adalah buku dua detik pertama yang sangat menentukan ketika kita mengamati sesuatu – dua detik yang akan memberikan pemahaman dalam sekejap mata yang terbentuk berkat pilihan-pilihan yang muncul dari “komputer internal” kita, alias kemampuan bawah sadar kita, melalui snap judgment dan thin slicing.
Buku terdiri atas Pendahuluan (Patung yang Tampak Kurang Pas), Bab Satu (Teori Cuplikan Tipis: Bagaimana Tahu Sedikit Bisa Berarti Banyak), Bab Dua (Pintu yang Terkunci: Rahasia Membuat Keputusan dalam Sekejap), Bab Tiga (Warren Harding Error: Mengapa Kita Menyukai Pria Bertubuh Tinggi dan Tampan), Bab Empat (Kemenangan Besar Paul Van Riper: Menciptakan Struktur untuk Spontanitas), Bab Lima (Dilema Kenna: Riset Pasar Tidak Selalu Mencerminkan Keinginan Pasar), Bab Enam (Tujuh Detik di Bronx: Seni Membaca Pikiran), dan Kesimpulan (Mendengarkan dengan Mata: Pelajaran dari Blink).
Buku ini memberikan contoh bagaimana kehebatan snap judgment (kesimpulan sekejap) dan thin slicing (cuplikan tipis) dari beberapa orang yang pernah mengalaminya: pakar benda seni yang mengenali kepalsuan barang antik, ahli cicip makanan yang langsung dapat membedakan berbagai merek hanya sekali sesap; atau bagaimana bahayanya membuat kesimpulan cepat: memilih presiden hanya dari kondisi fisiknya, penjual mobil yang gagal memasarkan barang dagangannya hanya karena menilai penampilan pembeli, polisi salah tembak, dan sebagainya.
Buku ini menunjukkan bahwa orang-orang yang pandai mengambil keputusan yang tepat bukanlah orang yang memroses paling bayak informasi, misalnya keberhasilan jenderal veteran Van Riper yang berhasil mengalahkan jenderal-jenderal aktif pada simulasi war game Perang Teluk yang terlalu lama menganalisis situasi. Orang-orang yang melatih diri mereka untuk menyempurnakan seni membuat cuplikan tipis – menyaring sedikit faktor-faktor terpenting dari sejumlah kemungkinan yang menggunung – akan membuat kesimpulan sekejap yang tepat dan menentukan, yang tidak membuang-buang waktu. Toh juga akhirnya kesimpulan yang ditarik ternyata sama setelah berbagai analisis yang lama dan mahal.
Buku ini menarik karena pasti kita pernah mengalami fenomena blink tersebut. Tiba-tiba terlintas pikiran buruk menghadapi suatu situasi, segera memutuskan untuk berbalik arah saat berkendaraan dan ternyata benar di depan kita kemudian terjadi kecelakaaan beruntun, segera memutuskan membeli sesuatu yang ternyata memang layak beli, atau bahkan segera dapat menilai sebuah buku atau tulisan apakah memang menarik atau tidak.
Buku ini akan memberi ilham kepada kita untuk melatih blink. Jangan seperti wak haji sbling yang akhirnya harus menjadi atm berjalan si anak bengal!
Hits: 127
No Comments