Roda Administrasi yang Patah Mengapa Pemimpin Harus Menjadi Penyatu Kepingan Puzzle
Roda Administrasi yang Patah Mengapa Pemimpin Harus Menjadi Penyatu Kepingan Puzzle
ITB, 06/11/25. Catatan tangan di bawah ini merupakan hasil diskusi ringkas Kelompok 1 dalam acara Leadership Administration Program ke-15—sebuah Forum Diskusi Kelompok (FGD) yang melibatkan dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) dan delegasi dari Singapura—telah menyimpulkan bahwa administrasi modern menghadapi tiga krisis fundamental: masalah Keberlanjutan, Konsistensi, dan Konflik Kepentingan. Wakil FITB yang menghadiri diskusi tersebut adalah Dr. Faiz Rohman Fajary dan Dr. Dasapta Erwin Irawan.
Notulen diskusi ini berfungsi sebagai peringatan bahwa kegagalan inisiatif jangka panjang sering kali berakar pada ketidakmampuan untuk menghubungkan ide-ide dan mempertahankan arah yang stabil. Dunia di sekitar kita digambarkan sebagai “sangat rumit, namun saling terhubung,” mencakup dinamika sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Ironisnya, alih-alih merangkul konektivitas ini, organisasi sering terjebak dalam “silo of ideas” (silo-silo ide) yang memisahkan sektor vital, seperti Pendidikan Tinggi dari Industri. Pemisahan ini menghasilkan komunikasi yang terbatas, tujuan yang tampaknya terpisah, dan parahnya, duplikasi upaya serta inefisiensi. Jelas, seorang pemimpin harus bertindak sebagai Penyatu Kepingan Puzzle, seseorang yang memiliki ide dan kebijaksanaan untuk menyatukan kepingan yang terfragmentasi ini, mengatasi pandangan eksklusif, dan membangun pemahaman bersama untuk merespons tantangan secara efektif.

Tantangan kedua yang tak kalah krusial adalah Inkonsistensi, yang didefinisikan sebagai masalah “jangka pendek dan tidak berlanjut.” Inkonsistensi ini merupakan musuh utama keberlanjutan. Dalam organisasi, hal ini terlihat ketika fokus terus menerus beralih ke “terlalu banyak hal baru”—seperti mengganti aplikasi lama dengan yang baru tanpa koneksi—yang menciptakan “kurangnya kontinuitas.” Alih-alih menyempurnakan roda yang sudah ada, organisasi terus-menerus “menciptakan kembali roda” (reinventing the wheel), menguras sumber daya dan waktu. Administrasi yang beroperasi dalam skala kecil dan pendanaan terbatas tidak akan pernah mencapai kestabilan jika komitmen terhadap komunikasi dan tindakan terus berubah. Inkonsistensi ini diperparah oleh adanya Konflik Kepentingan di antara tujuan-tujuan administrasi, membuat mustahil untuk mempertahankan fokus yang kuat dan visi yang berkesinambungan.
Untuk mengatasi Silo Ide dan Konflik Kepentingan secara struktural, diperlukan unsur Tata Kelola (Governance) yang kuat. Dewan atau badan penasihat harus dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip Good University Governance, yaitu Transparansi, Akuntabilitas, Responsivitas, dan Partisipasi. Dewan yang solid, yang terdiri dari perwakilan kampus (akademisi, peneliti) dan pelaku kunci industri, harus berfungsi sebagai Jembatan Institusional. Peran dewan ini sangat penting: pertama, memastikan program pendidikan dan penelitian responsif terhadap tuntutan industri (mengatasi isu tujuan yang terpisah); kedua, menetapkan pedoman yang jelas untuk mengelola Konflik Kepentingan antara kepentingan akademik dan komersial; dan ketiga, menuntut akuntabilitas atas hasil kolaborasi jangka panjang, bukan sekadar inisiatif sekali jalan.
Konsistensi Kebijakan Kunci Menuju Tujuan Bersama Jangka Panjang
Pada akhirnya, keberhasilan kerja sama antara perguruan tinggi dan industri—serta pencapaian tujuan pembangunan nasional—bertumpu pada satu pilar fundamental: Konsistensi Kebijakan. Tanpa konsistensi dari pihak Pemerintah dan Pimpinan Perguruan Tinggi, segala upaya kolaborasi akan menjadi upaya sporadis dan berisiko tinggi bagi mitra industri. Kebijakan yang konsisten memastikan bahwa payung hukum, insentif pendanaan, dan prioritas penelitian tidak berubah setiap pergantian kepemimpinan atau kabinet. Ini memberikan kepastian yang dibutuhkan industri untuk menginvestasikan modal besar dan komitmen waktu dalam kemitraan yang berkelanjutan. Hanya dengan kebijakan yang stabil dan terprediksi, perguruan tinggi dan industri dapat bergerak melampaui “tujuan jangka pendek” dan bersama-sama mewujudkan visi inovasi dan sumber daya manusia yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, diskusi menyimpulkan bahwa keberhasilan administrasi menuntut perubahan paradigma. Kita harus menyelesaikan konflik tujuan, meningkatkan komitmen terhadap Komunikasi untuk membongkar silo ide, dan menjaga Konsistensi—terutama dalam kebijakan—agar inisiatif baru memperkuat sistem yang lama, bukan merusaknya. Tanpa fondasi tata kelola yang kuat, dewan yang solid, dan kebijakan yang stabil, tidak ada upaya yang dapat mencapai Keberlanjutan sejati. Pertanyaan terakhir yang harus dijawab oleh para pemimpin adalah: “Bagaimana kita mengukur tujuan dan kinerja?” Jawabannya terletak pada seberapa efektif pemimpin dapat menyatukan kepingan puzzle, didukung oleh kerangka governance yang menuntut kolaborasi, akuntabilitas, dan visi jangka panjang yang stabil.
Hits: 6
No Comments