Enter your keyword

Geospasial, Etnografi dan Konsolidasi Tanah Pasca Bencana

Geospasial, Etnografi dan Konsolidasi Tanah Pasca Bencana

Geospasial, Etnografi dan Konsolidasi Tanah Pasca Bencana

Bencana di Tanah Lombok

Sejak terjadinya bencana gempa Lombok pada kurun waktu Juli hingga Agustus 2018, berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk melakukan proses rehabilitasi dan rekonsiliasi di wilayah terdampak bencana gempa Lombok. Kerusakan yang menimpa berbagai aspek, membuat penyelesaian masalah perlu disesuaikan berdasarkan skala “mana yang paling penting dilakukan”. Kebutuhan akan keamanan sandang, pangan dan papan tentunya menjadi prioritas awal ketika bencana terjadi. Sayangnya hingga 3 tahun sejak terjadinya bencana gempa, perkembangan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah permukiman di Kabupaten Lombok Utara berjalan sangat lambat. Selain pengaspalan jalan-jalan provinsi, pembangunan fasilitas umum, dan pembangunan hunian sementara, di kabupaten tersebut tidak terdapat perkembangan lainnya. Dana subsidi perumahan belum seluruhnya dapat dicairkan. Di lain sisi, permasalahan tidak ramahnya lingkungan permukiman terhadap bencana, terutama bencana gempa, juga belum dapat diselesaikan.

Hasil survey lapangan yang telah dilaksanakan menunjukkan bahwa sebagian besar korban meninggal disebabkan tertimpa runtuhan bangunan yang tidak memenuhi standar bangunan tahan gempa. Selain itu, kondisi permukiman yang padat dan gang-gang yang sempit serta beberapa bagian jalan gang yang buntu mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan melaksanakan evakuasi saat gempa. Kondisi tersebut berkontribusi menambah jumlah korban jiwa, terutama karena masyarakat yang terjebak di gang-gang yang sempit dan/atau buntu, tertimpa runtuhan bangunan maupun tembok tinggi.

Dusun Montong merupakan salah satu area terdampak bencana gempa bumi di Pulau Lombok. Hampir seluruh bangunan di dusun tersebut mengalami kerusakan, baik dari tingkat kerusakan sedang sampai berat. Hingga akhir tahun 2019, proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Dusun Montong belum berjalan, terutama dikarenakan administrasi pelaksanaan proses tersebut belum selesai dilaksanakan. Hasil dari kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) tahun 2019 oleh Pusat Studi Agraria ITB (PSA ITB) di Dusun Montong(*) menunjukkan bahwa penyebab dari belum selesainya administrasi pelaksanaan proses tersebut adalah (1) belum adanya perencanaan penggunaan ruang Dusun Montong yang sesuai dengan karakteristik dusun tersebut, terutama yang telah mempertimbangkan kerawanan terhadap bencana gempa bumi, dan (2) belum adanya lembaga yang secara langsung terlibat dalam mendampingi pelaksanaan penyiapan administrasi maupun pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebagai dampaknya, hingga akhir tahun 2019, hampir seluruh masyarakat Dusun Montong masih tinggal di tempat tinggal sementara.

Konsolidasi tanah adalah salah satu solusi terbaik yang dapat dilakukan untuk menuntaskan proses rehabilitasi dan rekonstruksi pada wilayah pasca bencana. Konsolidasi tanah adalah kegiatan untuk mengoptimalkan penggunaan tanah dalam hal pemanfaatan, peningkatan produktivitas, dan konservasi lingkungan. Dengan konsolidasi tanah, suatu wilayah menjadi teratur, lengkap dengan prasarana dan kelengkapan pemenuhan kebutuhan kehidupan dengan tujuan untuk kepentingan pembangunan, peningkatan kualitas lingkungan, dan pemeliharaan sumber daya alam.

Konsolidasi tanah dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi penggunaan tanah serta terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib juga teratur tanpa merugikan pihak manapun melalui cara penataan, pergeseran, pertukaran, pemecahan, penggabungan, penghapusan, serta pengubahan letak persil tanah yang disempurnakan dengan adanya pembangunan fasilitas umum seperti jalan, ruang terbuka hijau, dan sebagainya, sehingga menghasilkan pemanfaatan tanah yang lebih baik (ekonomis) dan meningkatkan nilai tanah.

Berbeda dengan pembebasan tanah, konsolidasi tanah lebih mengutamakan upaya untuk mengoptimalkan kondisi yang sudah ada dengan peran serta aktif dari masyarakat. Dalam pelaksanaan konsolidasi tanah, partisipasi aktif masyarakat adalah kunci keberhasilan, karena salah satu bagian terpenting pada proses ini adalah kerelaan masyarakat untuk “menyumbangkan” tanahnya untuk digunakan sebagai fasilitas umum terutama pembangunan akses jalan utama dan akses jalan evakuasi. Berdasarkan undang-undang nomor 1 Tahun 2011, konsolidasi tanah dapat dilaksanakan apabila paling sedikit 60% dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi paling sedikit 60% dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi menyatakan persetujuannya, dan kesepakatan paling sedikit 60% tersebut tidak mengurangi hak masyarakat sebesar 40% untuk mendapatkan aksesibilitas. Dalam petunjuk teknis konsolidasi tanah yang dibuat oleh Direktorat Konsolidasi Tanah ATR BPN, dinyatakan bahwa dalam rangka penataan bidang tanah yang baru maka peserta konsolidasi tanah diwajibkan untuk melepaskan hak atas tanahnya menjadi tanah negara dan dituangkan dalam surat pernyataan pelepasan hak atas tanah obyek konsolidasi tanah. Hak atas obyek konsolidasi tanah ini memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menata kembali penggunaan dan penguasaan tanah sesuai dengan desain konsolidasi yang telah disepakati.

Untuk masyarakat yang baru saja mengalami bencana dan kehilangan harta benda, bahkan kehilangan anggota keluarga, fakta dimana mereka harus merelakan beberapa bagian tanah yang mereka miliki untuk dijadikan objek konsolidasi tanah, bukanlah perihal mudah. Proses ini membutuhkan negosiasi yang panjang dan strategi pendekatan yang tepat untuk mendapat kesepakatan dari masyarakat pemilik tanah untuk bersedia “menyumbangkan” tanahnya untuk kepentingan bersama. Segala sesuatu yang terkait dengan tanah, seringkali menjadi isu yang sensitif dan mudah sekali menimbulkan konflik. Hal ini sangat berbahaya terutama di lingkungan masyarakat yang baru saja tertimpa bencana. Untuk mengatasi hal tersebut, metode pendekatan etnografi dapat menjadi metode pendekatan yang efektif untuk digunakan pada kondisi konflik pertanahan pasca bencana.

Etnografi, dan konsolidasi tanah pasca bencana

Metode etnografi, berasal dari bahasa Yunani ethnos yang berarti rakyat dan graphia yang berarti tulisan. Etnografi didefinisikan sebagai suatu bidang penelitian ilmiah yang digunakan dalam ilmu sosial, terutama dalam antropologi dan beberapa cabang ilmu sosiologi.  Etnografi dikenal sebagai bagian dari ilmu sejarah yang mempelajari masyarakat/ kelompok/ formasi etnis, termasuk etnogenesis yang merupakan proses menciptakan perbedaan-perbedaan sosiokultural, komposisi, perpindahan tempat tinggal, karakteristik kesejahteraan sosial, juga budaya material dan spiritual mereka.

Dalam proses konsolidasi tanah, konstrain yang sangat besar, muncul dari pihak masyarakat yang harus direlokasi dan merasa tidak diperlakukan adil karena harus menyerahkan luasan tanahnya untuk fasilitas umum dan infrastruktur baru penunjang evakuasi. Dalam kondisi inilah pendekatan etnografi dapat memberi pengaruh yang besar. Pendekatan etnografi untuk konsolidasi pertanahan pasca bencana dilakukan dalam upaya (1) membangun komunikasi efektif dengan seluruh masyarakat menggunakan etnografi komunikasi, dan dalam upaya (2) penyusunan desain konsolidasi pertanahan di wilayah pasca bencana dengan menggunakan pendekatan kearifan lokal dalam pola pemukiman tradisional.

Tatanan kehidupan sosial komunitas di Dusun Montong dan Lombok Utara pada umumnya berada dalam tatanan sosial adat yang terikat pada aturan adat yang dipimpin oleh para pemangku adat, dan dalam lingkup religious keagamaan yang tunduk pada kiai. Sebagai contoh dapat dilihat pada gambar 1. Kedua pemimpin ini memegang peran yang sangat besar dalam membentuk pola berpikir dan pengambilan keputusan masyarakat. Dalam upaya membangun komunikasi efektif dengan masyarakat, kearifan komunikasi sosial yang menggabungkan peran pemangku adat dan Kiai selaku pemimpin agama, dapat menghasilkan interaksi yang harmonis sehingga pesan dan tujuan yang diharapkan dapat sampai dan diterima dengan baik oleh masyarakat.

Gambar 1. Susunan Parabekel/Pemangku adat

Dalam etnografi pola pemukiman masyarakat adat di daerah Lombok Utara, pola pemukiman dipengaruhi oleh bentuk topografi Kawasan dan sistem kekerabatan. Secara umum terdapat elemen-elemen dasar pembentuk pola perumahan yang diterapkan oleh masyarakat yaitu adanya Bale atau tempat tinggal utama yang berupa ruang tertutup, Beruzaq atau bangunan berupa gazebo terbuka untuk menerima tamu dan kegiatan adat, dapur, lumbung untuk menyimpan hasil panen dan terpisah dengan bale, dan kandang. Dengan sistem kekerabatan yang kuat, maka susunan letak rumah dalam satu keluarga terus diturunkan dengan membangun rumah baru di lahan yang sama dengan orang tuanya secara terus menerus.

Selain elemen dasar pola pemukiman, elemen material tradisional yang digunakan sebagai bahan dasar rumah adat juga merupakan kekuatan dari kearifan lokal di Lombok Utara, seperti dapat dilihat pada gambar 2. Selama bencana gempa terjadi, rumah-rumah adat yang dibangun dengan kearifan lokal masih tetap berdiri tegak tanpa mengalami kerusakan apapun. Rumah adat ini dibangun dengan atap Jerami dinding anyaman bambu (Bedek), dan lantai dari tanah liat yang dicampur kotoran kerbau atau kuda dan abu Jerami.

Gambar 2. Contoh material rumah adat Lombok Utara

Kekuatan dari pendekatan etnografi untuk menyusun rencana konsolidasi tanah pasca bencana di Lombok Utara telah terbukti berhasil. Komunikasi dapat berjalan lebih efektif ketika jalur komunikasi dilakukan dengan musyawarah yang melibatkan tetua adat dan Kiai sebagai tokoh keagamaan. Desain rencana konsolidasi tanah mendapat persetujuan masyarakat setelah dibuat dengan menggunakan pendekatan elemen dasar pola pemukiman adat yang dimodifikasi dengan pendekatan mitigasi bencana di kemudian hari.

 

Analisis informasi geospasial untuk penataan Kawasan bencana

Dalam konsolidasi tanah untuk penataan kawasan pasca bencana, terdapat dua bagian penting, yang pertama adalah memastikan lokasi relokasi untuk daerah khusus yang ada dalam zona bahaya bencana geologis, yang kedua adalah desain pola pemukiman masyarakat yang aman dengan kemudahan menuju akses jalan dan tempat berkumpul (muster point). Setelah mendapatkan data zona bahaya bencana geologis dan data hasil pendekatan etnografi, maka konsolidasi tanah untuk penataan Kawasan bencana dapat dilakukan dengan menggunakan analisis informasi geospasial.

Pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, Geospasial didefinisikan sebagai aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu. Informasi geospasial adalah data geospasial yang telah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan dan atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian.

Dari hasil analisis informasi geospasial, didapatkan hasil bahwa Dusun Montong terletak pada sebuah bukit kecil, dengan seluruh bangunan terletak pada bukit tersebut. Dusun Montong memiliki kepadatan yang sangat tinggi dan dikelilingi oleh lahan pertanian warga. Warga lebih memilih melaksanakan pembangunan di dalam dusun daripada melaksanakan konversi lahan pertanian karena dikhawatirkan dapat mengganggu kegiatan pertanian yang menjadi mata pencaharian utama warga. Lihat Gambar 3 untuk lahan pertanian di sekitar Dusun Montong dilihat dari puncak Bukit Montong.

Gambar 3. Lahan pertanian di sekitar Dusun Montong dilihat dari puncak Bukit Montong

Sebagian besar bangunan di Dusun Montong tidak memiliki ketahanan terhadap bencana gempa bumi. Hal ini mengakibatkan timbulnya korban jiwa akibat runtuhnya bangunan-bangunan tersebut. Infrastruktur Dusun Montong tidak memadai untuk melaksanakan respon terhadap bencana gempa bumi. Akses di dalam dan ke luar Dusun Montong dilayani oleh gang-gang yang memiliki lebar antara 1 sampai 1.5 meter. Akibat padatnya permukiman Dusun Montong, gang-gang di dalam dusun tersebut dibangun mengikuti kondisi eksisting bangunan yang ada. Akibatnya, gang-gang tersebut memiliki karakteristik sebagai gang dengan belokan yang patah serta ruas yang pendek. Hal ini mengakibatkan evakuasi warga saat kejadian gempa bumi terhambat, yang mengakibatkan timbulnya tambahan korban jiwa karena keterlambatan pelaksanaan evakuasi. Lihat Gambar 4 untuk kondisi eksisting infrastruktur transportasi di Dusun Montong.

Gambar 4. Kondisi jalan dalam pemukiman yang menyulitkan proses evakuasi

Sebagian besar bidang tanah di Dusun Montong tidak memiliki akses langsung ke gang-gang yang melayani akses ke luar dusun tersebut. Akses ke bidang-bidang tanah tersebut hanya dilayani oleh pekarangan tetangga, yang berdasarkan arsip kegiatan PPM 2019 PSA ITB sewaktu waktu dapat ditutup oleh pemilik bidang yang bersebelahan. Lihat Gambar 5. untuk susunan bidang tanah di Montong pada akhir tahun 2019

 

Gambar 5. Susunan bidang tanah di Montong pada akhir tahun 2019, dimana sebagian bidang tanah tidak memiliki akses terhadap jalan

Untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat dan mendapatkan desain perencanaan tata ruang yang paling sesuai untuk mengurangi risiko bencana di masa depan, maka desain awal konsolidasi tanah Dusun Montong disusun dengan memperhatikan faktor-faktor struktur ruang pemukiman berbasis kearifan lokal, topografi wilayah dan ketersediaan lokasi evakuasi. Proses desain konsolidasi tanah dilakukan dengan komunikasi aktif dengan pemangku adat, tokoh agama dan masyarakat. desain pola perumahan dibuat sesuai dengan nilai budaya masyarakat Lombok Utara yang memiliki pola perumahan berjajar dengan arah atap sejajar jalan. Struktur pola ruang utama tetap disusun berdasarkan kebutuhan pemenuhan ritual keagamaan dan kekeluargaan dengan menempatkan masjid, masyarakat, tokoh agama dan pemangku adat dalam satu pusat keterdekatan, dan meletakkan Gazebo sebagai tempat berkumpul yang dalam hal ini juga digunakan sebagai tempat kumpul evakuasi ketika terjadi bencana.

Desain konsolidasi tanah Dusun Montong memasukkan usulan penggunaan ruang di puncak Bukit Montong sebagai tempat evakuasi, sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai ruang untuk melaksanakan berbagai kegiatan di dusun tersebut. Akses setiap bidang tanah terhadap jalan, sebagai salah satu bagian krusial dalam proses konsolidasi tanah telah mampu memberikan akses ke jalan untuk setiap bidang tanah di dusun tersebut. Usulan perubahan konstruksi gang juga dilaksanakan dalam rangka mempermudah evakuasi dalam keadaan gawat darurat Tahapan ini dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2020. Lihat Gambar 6 untuk desain konsolidasi tanah Dusun Montong.

 

Gambar 6. Desain konsolidasi tanah Dusun Montong

Pengembangan model konsolidasi tanah pasca bencana

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan Negara yang memiliki tingkat kebencanaan yang sangat tinggi, dan pertanahan sebagai salah satu aspek yang sangat rentan ketika terjadi bencana, harus mendapat perlindungan hukum yang jelas. Masyarakat harus mendapat jaminan bahwa tanahnya tidak akan serta merta hilang ketika terjadi bencana yang memberi dampak terhadap tanah yang mereka miliki. Konsolidasi tanah sebagai proses penting yang tidak terelakkan dalam penataan kawasan pasca bencana, harus memiliki alur yang jelas dan pendekatan yang “ramah”. Pendekatan etnografi dengan menggali kearifan lokal dan menempatkannya dalam ruang spasial budaya telah terbukti membuat proses konsolidasi tanah pasca bencana menjadi suatu proses yang tidak terlalu menyakitkan.

Penataan ulang persil, penambahan sarana prasarana umum dan infrastruktur yang mendukung mitigasi bencana, termasuk pembangunan hunian, penataan drainase dan pendaftaran tanah ulang, sebagai bagian dari rangkaian konsolidasi tanah, dapat menjadi proses panjang yang sulit dan melelahkan bagi seluruh pihak yang terlibat. Pada saat inilah budaya, kepercayaan dan kearifan lokal memiliki peran yang sangat penting untuk menjembatani jurang yang tercipta antara usaha pemerintah dengan harapan masyarakat. Kemampuan mengimplementasikan pendekatan etnografi kedalam akuisisi data geospasial akan menghasilkan suatu model konsolidasi tanah pasca bencana yang terbukti meminimalisir munculnya konflik di lapangan.

(*)kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) tahun 2019 oleh Pusat Studi Agraria ITB (PSA ITB) di Dusun Montong dilaksanakan oleh Tim inti Dr. rer. Pol. Rizqi Abdulharis, Dr. Alfita Puspa Handayani, Dr. Irwan Meilano, dan Ivan Akbar, B.Sc., MT.

Download e-paper Media Indonesia – Selasa, 8 Juni 2021

Hits: 105

EnglishIndonesia