Enter your keyword

Pemburu-Pengumpul sebagai Cara Hidup Manusia yang Paling Tua

Pemburu-Pengumpul sebagai Cara Hidup Manusia yang Paling Tua

Pemburu-Pengumpul sebagai Cara Hidup Manusia yang Paling Tua

Masyarakat pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) cenderung hidup lebih sehat dibanding masyarakat yang muncul kemudian.

Johan Arif

Peneliti Geoarkeologi & Lingkungan di ITB, Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Wilayah kuning menunjukkan wilayah yang dihuni oleh masyarakat pemburu-pengumpul pada 4 ribu tahun yang lalu (Holosen Atas). (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

3 Agustus 2024

BandungBergerak.id – Dalam surat Abasa 80 ayat 24 kita disuruh untuk memperhatikan makanan yang kita makan. Dalam ayat selanjutnya ternyata makanan utama yang kita makan itu sumbernya berasal dari bumi/tanah yang tumbuh karena adanya air/hujan. Kalau kita perhatikan lebih jauh orang-orang yang memanfaatkan secara langsung sumber makanan seperti itu adalah orang-orang yang hidupnya di hutan yang kita kenal sebagai pemburu-pengumpul (hunter-gatherer).

Masyarakat pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) adalah masyarakat yang memakai metode untuk bertahan hidupnya dengan cara berburu binatang dan tumbuh-tumbuhan liar yang dapat dimakan, tanpa usaha-usaha yang nyata untuk membudidayakannya (domestikasi) terlebih dahulu. Cara hidup ini berbeda dengan cara hidup masyarakat petani yang sumber makanannya adalah hewan-hewan peliharaan dan tumbuhan bukan liar tetapi di budidayakan.

 

Berburu-mengumpulkan (hunter-gatherer) mungkin merupakan strategi yang digunakan oleh manusia yang dimulai sekitar 1,8 juta tahun yang lalu, yaitu Homo erectus, dan Homo sapiens sejak kemunculannya sekitar 200 ribu tahun yang lalu. Para ilmuwan menganggap ini tetap menjadi satu-satunya cara penghidupan sampai akhir periode Mesolitikum sekitar 10 ribu tahun yang lalu, dan setelah itu digantikan secara bertahap dengan menyebarnya “Revolusi Neolitikum” yang memunculkan masyarakat agraris –diduga sejak itu mulai muncul berbagai penyakit di tengah masyarakat.

Hingga saat ini masyarakat pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) ini bertahan di wilayah yang sebagian besar sulit untuk pertanian dan penggembalaan skala besar. Wilayah-wilayah tersebut cenderung merupakan habitat gurun, iklim utara yang dingin, atau hutan hujan tropis.

Bushmen (Sun) adalah pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) di Afrika Selatan. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Bushmen (Sun) adalah pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) di Afrika Selatan. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Baca Juga:Perubahan Iklim dan Hancurnya Kerajaan Akkadia
Misteri Masyarakat Buni dari Batujaya
Kisah Venus Sang Berhala Para Dewa
Memanfaatkan Sumber Daya Alam

Masyarakat pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) adalah masyarakat yang memanfaatkan sumber daya alam, khususnya sumber karbohidrat dan lemak untuk hidupnya. Walaupun, itu mungkin didistribusikan terlalu sedikit untuk mendukung manusia yang mencari makan sepanjang tahun.

Studi tentang masyarakat pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) yang hidup di hutan hujan tropis penting untuk merekonstruksi cara hidup manusia sebelum domestikasi tanaman dan hewan. Banyak orang yang menyangsikan hal ini karena mereka tidak sepenuhnya hidup secara mandiri, tetapi sudah bersimbiosis atau hidup berdampingan dengan masyarakat petani/agraris yang bergantung pada tanaman dan hewan peliharaan. Contohnya, suku Mbuti kelompok pigmi yang hidup di hutan Ituri Kongo/Zaire di Afrika Tengah, mereka berburu dan mengumpulkan sumber daya hutan liar dan menjualnya kepada kelompok petani yang hidupnya menetap.

Di India hingga Sri Langka, masyarakat pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) hidupnya selalu dekat dengan perkampungan masyarakat agraris kasta Hindu dan mereka melakukan perdagangan. Mereka –misalnya suku Jarawa penduduk asli Kepulauan Andaman yang terletak di antara India dan Myanmar– melakukan perburuan seperti babi hutan yang kadang dibantu oleh anjing. Di Asia Tenggara terdapat sejumlah besar masyarakat pemburu-pengumpul (hunter-gatherer). Mereka termasuk Semang dan Batek di Semenanjung Malaya, Punan di Kalimantan, Kubu di Sumatra dan Toala di Sulawesi. Di Filipina terdapat suku Batak, suku Ata dan suku Agta. Bellwood (1979), R. G. Fox (1969) dan Rambo (1985) berpendapat bahwa mereka adalah sisa-sisa populasi pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) zaman Paleolitik yang tersebar luas dan mengeksploitasi wilayah hutan hujan yang luas di seluruh Dataran Sunda dan Sahul.

Akan tetapi -menurut Janzen (1975), kebanyakan daun-daunan pada hutan hujan tropis bersifat “toxic” yang berbahaya jika dikonsumsi manusia. Bunga, buah-buahan dan biji-bijian yang terdapat di hutan ini juga sangat sedikit yang bisa dikonsumsi oleh manusia. Bahan-bahan makanan yang bisa dikonsumsi oleh manusia biasanya terletak di atas kanopi yang mana susah untuk dijangkau. Dengan kata lain, ketersediaan sumber makanan yang tersedia di hutan hujan tropis adalah rendah bahkan nyaris sangat sedikit sehingga tidak dapat diandalkan oleh manusia yang menggantungkan kehidupannya pada hasil hutan. Sebaliknya hutan hujan tropis kaya akan sumber protein dan lemak dari hewan yang ada walaupun bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis rendah. Hewan-hewan tersebut umumnya hidup secara arboreal.

Pohon Baobab. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Pohon Baobab. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Cenderung Lebih Sehat

Kembali ke masalah makanan, masyarakat pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) cenderung hidup mereka lebih sehat dibanding masyarakat yang muncul kemudian. Sehingga ada yang berpendapat bahwa sebaiknya kita makan layaknya orang-orang pemburu-pemungut (hunter-gatherer) karena evolusi tubuh kita sebagian besar terjadi sebelum munculnya budaya pertanian.

Sebagai contoh adalah suku Hadza kelompok pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) dari Tanzania Afrika. Suku Hadza memiliki keanekaragaman yang merupakan salah satu yang terkaya di planet bumi ini. Keanekaragaman yang tinggi dikaitkan dengan rendahnya risiko obesitas dan banyak penyakit. Di wilayah Hadza, tidak ada yang terbuang atau dibunuh, namun mereka memakan spesies tumbuhan dan hewan yang sangat beragam. Salah satu makanan pokok mereka adalah buah Baobab (buah yang tumbuh di Afrika). Buah ini kaya akan vitamin, lemak di bijinya, dan banyak serat. Buah Baobab memiliki cangkang keras seperti kelapa yang mudah retak sehingga terlihat daging berkapur di sekitar bijinya yang besar serta tingginya kadar vitamin C yang memberikan rasa jeruk. Selain itu, baik pria maupun wanita Hadza menganggap madu sebagai makanan favorit. Wanita Hadza biasanya memperoleh madu di tanah sementara pria sering memanjat pohon Baobab yang tinggi untuk menyerbu sarang lebah dengan lebah penyengatnya.

Perbandingan antara makanan pemburu-pemungut (hunter-gatherer) dengan makanan manusia sekarang. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)
Perbandingan antara makanan pemburu-pemungut (hunter-gatherer) dengan makanan manusia sekarang. (Foto: Dokumentasi Johan Arif)

Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam American Journal of Clinical Nutrition, sebagian besar masyarakat pemburu-pemungut (hunter-gatherer) adalah karnivora dengan lebih dari 85% makanan berasal dari hewan yang mereka buru. Makanan nabati merupakan komponen yang lebih kecil. Artinya, makanannya tinggi kandungan lemak dan rendah karbohidrat. Oleh karena itu, masyarakat pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) tidak atau jarang memiliki masalah kesehatan kronis seperti penyakit jantung, diabetes dan hipertensi. Para ilmuwan termasuk arkeolog telah menunjukkan tidak adanya kondisi ini pada sisa-sisa manusia Paleolitik.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel Johan Arif, atau tulisan-tulisan lain tentang Situs Geologi

Hits: 39

EnglishIndonesia