Misteri Danau Bandung
Cekungan Bandung di masa lalu diperkirakan merupakan danau besar yang dikenal sebagai Danau Bandung. Ukurannya sekitar 60×40 km2 membentang dari timur ke barat.
Johan Arif
Peneliti Geoarkeologi & Lingkungan di ITB, Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung.
26 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Zona Bandung diapit oleh zona Bogor di utara dan zona Pegunungan Selatan di selatannya. Batas antara zona Bandung dengan zona Bogor terdapat di sekitar bekas kompleks Gunungapi Sunda purba. Gunungapi Sunda ini sekarang sudah tidak ada lagi tetapi jejak keberadaan bisa dilihat dari hasil aktivitasnya yang diberi nama “Hasil gunungapi tua tak teruraikan” yang di beri simbol sebagai Qvu atau dinamakan juga sebagai Formasi Cikapundung yang berumur Plestosen Bawah hingga Plestosen Tengah.
Pada Zona Bandung ini terletak Dataran Tinggi Bandung (Bandung Plateau) yang dikelilingi oleh serangkaian bukit dan gunung sehingga morfologinya menyerupai cekungan. Oleh karena itu, dikenal sebagai Cekungan Bandung. Pada masa lalu, diperkirakan di cekungan ini terdapat sebuah danau besar dikenal sebagai Danau Bandung. Ukurannya sekitar 60×40 kilometer persegi yang membentang dari timur ke barat. Di sekitar Danau Bandung purba ini –terutama di perbukitan– terdapat banyak temuan tinggalan arkeologi, seperti peralatan batu, gerabah dan sebagainya.
Baca Juga:Kisah Venus Sang Berhala Para Dewa
Pemburu-Pengumpul sebagai Cara Hidup Manusia yang Paling Tua
Kisah Penyebaran Fauna di Bumi pada Zaman Plestosen
Bukti Pendukung Adanya Danau Bandung
Penelitian tentang danau ini telah dilakukan oleh beberapa orang. Menurut Koesoemadina dan Hartono (1981), rekaman terbentuknya danau ini ada di Formasi Kosambi yang berumur Plistosen Atas. Formasi Kosambi bersilang-jari dengan Formasi Cibeureum. Berdasarkan hal ini, diduga bahwa pada saat danau Bandung terbentuk bertepatan dengan adanya aktivitas gunungapi yang menghasilkan endapan yang dikelompokkan ke dalam Formasi Cibeureum.
Kapan Danau Bandung Terbentuk?
Hal ini masih menjadi perdebatan. Namun terdapat dua hipotesis dan kedua hipotesis tersebut sepakat bahwa pembentukannya berkaitan dengan aktivitas gunung berapi, namun waktunya berbeda.
Haryoto Kunto (1986), dalam bukunya “Semerbak Bunga di Bandung Raya“, mengutip kepada pendapat van Bemmelen (1949), mengatakan bahwa terbentuknya Danau Bandung berkaitan dengan erupsi dari gunung Tangkuban Prahu yang terjadi lebih-kurang 6000 tahun yang lalu (zaman Holosen). Bahan-bahan hasil erupsi yang dimuntahkan oleh gunung Tangkuban perahu itu secara bertahap membendung aliran Sungai Citarum. Kemudian sekitar 4.000-3.000 tahun yang lalu permukaan air danau secara lambat laun mulai menyusut karena aliran Sungai Citarum dapat menemukan kembali jalan keluarnya, dengan cara menembus bukit-bukit kapur di sekitar Saguling-Rajamandala (sebelah barat Batujajar). Tempat jalan keluar tersebut dikenal dengan nama Sang Hyang Tikoro. Menurut von Koenigswald (1949), ada kemungkinan bahwa pada akhir zaman Neolitik, sekitar 2500 SM, Danau Bandung telah punah dan bekas telaga tersebut mulai dihuni oleh manusia. Hal ini dibuktikan oleh temuan artefak di Majalaya, yang mana kota tersebut dahulunya terletak di bawah air Danau Bandung.
Pendapat yang kedua diungkapkan oleh R. P. Koesoemadinata (2004), dalam tulisannya berjudul “Taman Bunga Karang di Perbukitan Rajamandala“. Dia mengutip kepada pendapat Dam (1994), bahwa cikal bakal terbentuknya Danau Bandung sudah berlangsung sejak zaman Plestosen, sekitar 125.000 tahun yang lalu, seiring dengan adanya peningkatan aktivitas Gunung Sunda. Kemudian danau mulai menyusut secara bertahap sejak 25.000 hingga 16.000 tahun yang lalu (zaman Plestosen Akhir), yang disebabkan oleh tiga hal yaitu: terjadinya sedimentasi yang terus-menerus, menyusutnya air danau dan penyaluran kembali aliran Sungai Citarum.
Adakah Manusia Penghuni Danau Bandung?
Adakah manusia yang mewakili atau hidup sezaman dengan Danau Bandung? Apakah itu pada masa Holosen (6.000 tahun yang lalu) atau pada masa Plestosen (125.000 tahun yang lalu)?
Hingga sekarang belum pernah ditemukan fosil-fosil manusia di sekitar bekas danau ini yang pernah hidup pada zaman Plestosen. Mahluk hidup yang dianggap mewakili zaman tersebut hanyalah sejumlah hewan seperti rusa, kuda nil dan gajah yang mana fosilnya ditemukan di sepanjang Sungai Citarum, antara lain di Banuraja, Ciharuman, Cipatik, dan Cipendeuy.
Fosil-fosil yang berasal dari Banuraja mempunyai kemiripan dengan fosil dari kumpulan Fauna Kedung Brubus dari Sangiran (antara lain dengan hadirnya Manis palaeojavanica), yang berumur 800.000 tahun yang lalu (Plestosen Awal). Sebaliknya manusia yang mungkin mewakili zaman Holosen yang pernah hidup di Dataran Tinggi Bandung adalah Manusia Pawon yang fosilnya diketemukan tahun 2003 di Gua Pawon, Padalarang.
Di kawasan Cekungan Bandung ini banyak objek-objek alam dan budaya yang menarik untuk dijadikan kegiatan wisata pendidikan kebumian atau geowisata. Dalam sejarah manusia, orang-orang berminat kepada aktivitas wisata ketika sains, budaya dan kesejahteraan dalam masyarakat meningkat. Tujuan dari wisata pada saat itu telah bergeser dari wisata bertema religi/takhayul menjadi wisata bertema ilmu pengetahuan dan budaya agar manusia menghargai lingkungan.
Salah satu aspek geologi dan budaya yang menarik yang ada di perbukitan utara Danau Bandung ini adalah sebaran obsidian dan makam-makan kuno seperti Merak Dampi (Ciseubel), Pasir Panyandaan dan Gunung Sadu. Makam-makam kuno tersebut hingga saat ini belum lagi di teliti.
Merak Dampit
Sebuah makam yang mirip dengan makam kuno ditemukan secara tidak sengaja pada bulan Oktober 2004. Letaknya di Kampung Pesanggrahan-Patenggang, Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Secara geologi, situs ini terletak di Formasi Cikapundung. Posisi geografisnya adalah S 6° 51′ 15.8″ dan E 107° 40′ 45.9″ pada ketinggian 1179 meter di atas permukaan laut. Di bagian utara-timur dan barat-timur terlihat bahwa situs ini terletak di bukit kecil yang dikelilingi oleh ladang jagung. Selain itu, serpihan batu obsidian tersebar di bukit-bukit lain di sekitar situs.
Sementara itu, Bapak Eman (penduduk lokal) mengatakan bahwa gundukan tanah ini diduga ada kaitannya dengan Eyang Jayadirega dari Cirebon. Sejauh ini belum diketahui apakah gundukan tanah ini benar-benar kuburan/makam atau hanya –yang oleh masyarakat setempat disebut– patilasan atau kabuyutan. Di sekitar lokasi banyak dijumpai berbagai jenis tanaman perdu antara lain krinyuh dan lantana kamara yang memiliki bunga dan buah. Buah lantana kamara manis dan biasanya dikonsumsi oleh burung. Sementara itu, masyarakat setempat menggunakan daunnya untuk fermentasi alpukat.
Makam kuno tersebut diwakili oleh gundukan tanah berbentuk elips dengan arah N60°E dengan ukuran: panjang 4,8 m, lebar 3,4 m dan tinggi 45 cm. Terdapat empat tegakan menhir dari batuan andesit di setiap sudut gundukan tanah. Ukurannya bervariasi antara lebar 14-35 cm; tinggi 45-65 cm dan tebal 3-12 cm. Terdapat pula dua tempat menhir yang berjarak sekitar 2,8 m di sepanjang sumbu terpanjangnya. Selain itu, terdapat tiga pohon besar yang berjajar di sekeliling gundukan tanah; satu di utara dan dua di timur.
Pasir Panyandaan-1 dan Pasir Panyandaan-2
Situs Panyandaan-1 terletak di dekat KQ 273 dengan posisinya S 6° 52′ 27.3″ dan E 107° 40′ 40.8″, elevasi 1069 m dan Pasir Panyandaan-2 posisinya S 6° 52′ 29.3″ dan E 107° 40′ 41.2″, elevasi 1040 mMenurut Bapak Atang (54 tahun, penduduk lokal), lokasi ini merupakan patilasan atau tilem atau moksa (Bahasa Jawa) eyang Sri Putra Mahkota Raden Mundingwangi, putra dinasti ke-8 dari eyang Prabu Niskalawastukencana (Raja Pajajaran) yang patilasan-nya terletak di Kebon Raya Bogor.
Panyandaan-2 adalah patilasan-nya istri Rd. Mundingwangi yaitu eyang Rd. Lenggang Sekarkedaton, anaknya eyang Ratu Guru Dewataprana (Prabu Siliwangi) yang beragama Hindu (Rd. Mundingwangi beragama Islam). Rd. Mundingwangi punya adik perempuan yaitu eyang Rd. Wanajanegara yang patilasan-nya ada di kampung Kb..Kelapa Cibaduyut (belakang LP Banceuy, Jalan Sukarno-Hatta). Dia dianggap pembuka Kota Bandung. Suami Rd. Wanajanegara adalah Dipati Ukur dari Mataram yang patilasan-nya di Gunung Palasari.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian tahun 2004-2005, kami mendapatkan suatu gambaran bahwa di sekitar Danau Bandung pernah ada suatu masyarakat yang hidup pada zaman peralihan Mesolitik-Neolitik. Pada saat itu Danau Bandung masih ada dan sedang menuju kepada kepunahannya. Bukti-bukti kehidupan mereka diwakili oleh temuan rangka manusia Pawon dan temuan-temuan artefak antara lain seperti obsidian dan bangunan megalitik seperti menhir dan batu temu-gelang.
Manusia Pawon diduga mirip dengan manusia Wajak dari Jawa timur yaitu campuran antara ras Mongoloid dan (proto) Australomelanesoid. Mereka adalah masyarakat pemburu-pemungut. Mereka tinggal di gua-gua untuk sementara waktu saja, selama mereka dalam pengembaraan mencari makanan. Dari segi religi ada kemungkinan mereka mempunyai konsep monoteisme, seperti yang diperlihatkan adanya penguburan rangka terlipat (flexed) dan disekitar rangka terdapat benda-benda kubur.
Sebaliknya, di luar kawasan mereka (Manusia Pawon), hidup masyarakat lainnya dengan melakukan aktivitas pertanian secara sederhana (berladang) tanpa sistim irigasi. Bukti dari aktivitas pertanian mereka adalah temuan pecahan obsidian yang mana sumber dari obsidian tersebut berada di gunung Kendan, Cicalengka. Dari segi religi, mereka tampaknya menganut konsep paganisme yaitu dengan melakukan pemujaan terhadap benda-benda mati seperti batu dan matahari.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel Johan Arif, atau tulisan-tulisan lain tentang Situs Geologi
Hits: 92