Jawa Tenggelam: Krisis Sunyi di Bawah Kaki Kita
Penulis: Teguh Purnama Sidiq dan Irwan Gumilar
Penyunting: Dasapta Erwin Irawan
Sumber: Sidiq, T.P.; Gumilar, I.; Abidin, H.Z.; Meilano, I.; Purwarianti, A.; Lestari, R. Spatial Distribution and Monitoring of Land Subsidence Using Sentinel-1 SAR Data in Java, Indonesia. Appl. Sci. 2025, 15, 3732. https://doi.org/10.3390/app15073732
Sebuah studi terbaru yang menggunakan teknologi satelit canggih telah mengungkapkan realitas yang mengkhawatirkan: Pulau Jawa, rumah bagi lebih dari 150 juta penduduk dan jantung ekonomi Indonesia, mengalami penurunan tanah (subsidence) yang signifikan dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Fenomena senyap ini, diduga salah satunya disebabkan oleh pengambilan air tanah yang berlebihan, menimbulkan ancaman serius bagi wilayah perkotaan, infrastruktur, dan lingkungan di seluruh pulau.
Selama lebih dari dua dekade, penurunan tanah telah menjadi masalah yang diketahui di Jawa, terutama di kota-kota besar. Namun, studi sebelumnya seringkali hanya berfokus pada area tertentu, mengabaikan gambaran yang lebih luas. Penelitian baru ini, yang diterbitkan dalam Applied Sciences, memanfaatkan data Synthetic Aperture Radar (SAR) Sentinel-1 dari tahun 2017 hingga 2023 untuk menyediakan peta komprehensif penurunan tanah di seluruh pulau. Studi ini ditulis oleh tim kolaborasi dari Institut Teknologi Bandung, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian dan Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Teguh P. Sidiq, Irwan Gumilar, Hasanuddin Z. Abidin, Irwan Meilano, Rahayu Lestari, dan Ayu Purwarianti.
Temuan Kunci: Masalah yang Meluas
Studi ini mengidentifikasi sepuluh wilayah dengan penurunan tanah yang signifikan, berdampak pada hampir 60 juta penduduk. Di antara area-area ini adalah Serang, Megapolitan Jakarta (termasuk Tangerang, Jakarta, dan Bekasi), Cianjur, Bandung, Cirebon, Brebes dan Tegal, Pekalongan, Megapolitan Semarang (termasuk Kendal, Semarang, dan Demak), Surabaya, dan Sidoarjo. Tingkat penurunan tertinggi diamati di Bandung, mencapai hingga 200 mm/tahun, sementara Megapolitan Jakarta mengalami laju hingga 150 mm/tahun, dengan Bekasi mencapai 150 mm/tahun, Jakarta 110 mm/tahun, dan Tangerang 80 mm/tahun. Megapolitan Semarang melihat penurunan hingga 160 mm/tahun, dan Pekalongan hingga 110 mm/tahun. Area lain seperti Serang, Cianjur, Cirebon, Brebes, Tegal, Surabaya, dan Sidoarjo mengalami laju antara 60 hingga 140 mm/tahun. Khususnya, Cianjur dan Brebes, yang sebelumnya tidak disebutkan dalam studi penurunan tanah, menunjukkan laju sekitar 80 mm/tahun dan 70 mm/tahun.
Penelitian ini menunjukkan korelasi yang kuat antara penurunan tanah dengan zona perkotaan dan industri, menunjukkan bahwa aktivitas antropogenik, khususnya eksploitasi air tanah yang berlebihan untuk kebutuhan rumah tangga dan industri, adalah pemicu utamanya.
Dampak dan Langkah ke Depan
Konsekuensi penurunan tanah sangat parah dan berdampak luas, menyebabkan kerusakan infrastruktur penting, peningkatan frekuensi dan keparahan banjir, serta berkurangnya kapasitas air tanah. Di Megapolitan Jakarta, misalnya, bangunan-bangunan sudah tenggelam, dan permukaan tanah di Bekasi kini lebih rendah dari permukaan air di sekitarnya. Di Kota Serang, penurunan tanah hingga 60 mm/tahun diduga disebabkan oleh penggunaan air tanah yang berlebihan di daerah permukiman. Demikian pula, di Bandung, tingkat penurunan tertinggi berada di daerah pemukiman di mana penduduk mengambil air tanah untuk kebutuhan sehari-hari dari kedalaman 60-80 meter.
Pemetaan komprehensif penurunan tanah di Jawa ini merupakan langkah penting untuk perencanaan kota dan pengelolaan lingkungan. Ini menyoroti kebutuhan mendesak akan pemantauan berkelanjutan dan strategi mitigasi yang efektif untuk mencegah degradasi lahan lebih lanjut dan melindungi masyarakat dari bahaya yang meningkat akibat penurunan tanah ini.
Hits: 5
No Comments