Enter your keyword

Is your drinking water in East Java safe? A look beneath the surface

Is your drinking water in East Java safe? A look beneath the surface

Is your drinking water in East Java safe? A look beneath the surface

English version <<Read Indonesian version below>>

Is your drinking water in East Java safe? A look beneath the surface

Author: Dasapta Erwin Irawan (Vice Dean for Resources)

We often rely on groundwater for drinking, cooking, and farming, especially in dynamic, fast-growing areas like East Java. But a scientific study focusing on the Surabaya-Lamongan Groundwater Basin (SLGB) has revealed a silent crisis beneath our feet: widespread phosphate contamination.

This contamination is driven by intense human activities, including rapid urbanization and agricultural intensification. If left unchecked, this issue poses a significant threat to public health and the sustainability of our water supply.

Click to read the paper.

Understanding the Concern

This critical issue was explored in the paper, Spatial variability of phosphate groundwater based on land use–land cover and groundwater quality on increasing rural to urban areas,” authored by Arif Gunawan, Dasapta Erwin Irawan, Achmad Darul, and Rusmawan Suwarman. This paper was just recently published in the Environmental Monitoring and Assessment Journal (https://rdcu.be/eTsv4).

The Key Finding: Safety Limits Are Being Exceeded

The Indonesian Ministry of Health sets the maximum safe limit for phosphate in drinking water at 0.2 milligrams per liter (mg/L).

However, when samples were analyzed across the SLGB, the average phosphate concentration was 0.627 mg/L. This average concentration considerably surpasses the tolerance threshold. These findings indicate widespread contamination, rendering the groundwater unsuitable for consumption in many areas.

 

Where is the Pollution Coming From?

The sources of contamination are directly linked to how we use the land (land use–land cover or LULC) in the region.

1. Residential Areas: The Biggest Problem

Areas designated for settlements and residences show the highest mean phosphate concentrations, averaging 1.107 mg/L. This severe contamination is primarily due to:

  • Faulty Wastewater Systems: Inadequate domestic wastewater disposal systems, such as leaky septic tanks, allow phosphate-rich waste to filter directly into the soil and aquifer.
  • Household Products: The heavy use of soaps, detergents, and other household-cleaning products that contain phosphate also adds to the continuous pollution.

2. Agriculture and Industry

  • Farming Practices: Agricultural areas (including rice fields) contribute significantly, with average concentrations of 0.337 mg/L. This pollution results from the excessive application of NPK (nitrogen, phosphorus, and potassium) fertilizers and pesticides.
  • Industrial Waste: Improper management of solid waste and wastewater from various industrial activities also releases phosphate into the environment.

The contamination is not evenly distributed: Gresik District recorded the highest average phosphate concentration in the study area, peaking at 1.201 mg/L, suggesting it acts as a critical source of contamination.

Why Shallow Wells Are Most at Risk

The research highlighted a crucial difference based on well depth:

  • Shallow Aquifers are Contaminated: Groundwater wells less than 50 meters deep (unconfined aquifers) are highly vulnerable, exhibiting significantly higher phosphate concentrations than deep wells. Shallow groundwater is often the “first recipient” of contaminants filtering down from the surface.
  • Deep Aquifers are Currently Protected: Deeper aquifers are shielded by a natural layer of clay (an aquitard), which maintains better water quality by restricting the movement of surface pollutants downwards.

Click to read the paper.

 

What Needs to Be Done? Actions to Protect Our Water

Protecting the groundwater in the Surabaya-Lamongan Basin requires linking land use practices directly to water resource management. By addressing the sources of pollution today, we can ensure a safe and sustainable water supply tomorrow. To protect the public health of communities relying on the SLGB, targeted, evidence-based interventions are necessary:

  1. Prioritize Septic System Improvement: Immediate action must prioritize the improvement of domestic septic system performance, especially in densely populated residential areas that show high phosphate levels.
  2. Control Agricultural Runoff: Authorities need to formulate and implement strategies that reduce the use of phosphate fertilizers and mitigate the runoff of nutrients from farming areas.
  3. Establish Buffer Zones: Creating vegetative or structural buffer zones around shallow groundwater sources in intensive agricultural areas can help filter contaminants before they reach the aquifer.
  4. Protect Deep Water: Strict regulation on the construction and depth of deep wells is essential. Extensive extraction from deep aquifers should be avoided as it risks compromising the protective clay layer and drawing contaminated shallow water downwards.
  5. Mandatory Monitoring: A long-term commitment is needed to establish continuous monitoring networks for groundwater quality and quantity, including mandatory quarterly testing for shallow wells, to track trends and measure the effectiveness of pollution mitigation efforts.

Click to read the paper.

For further info contact: dasaptaerwin.at.itb.ac.id 


<< Indonesian version >>

Apakah air minum Anda di Jawa Timur aman? Mari kita lihat di bawah permukaan

Kita sering mengandalkan air tanah untuk minum, memasak, dan bertani, terutama di daerah yang dinamis dan berkembang pesat seperti Jawa Timur. Namun sebuah studi ilmiah yang berfokus pada Cekungan Air Tanah Surabaya-Lamongan (SLGB) telah mengungkapkan krisis tersembunyi di bawah kaki kita: kontaminasi fosfat yang meluas.

Kontaminasi ini dipicu oleh aktivitas manusia yang intensif, termasuk urbanisasi yang pesat dan intensifikasi pertanian. Jika dibiarkan tanpa penanganan, masalah ini menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat dan keberlanjutan pasokan air kita.

Memahami Permasalahannya

Masalah kritis ini dikaji dalam makalah berjudul Spatial variability of phosphate groundwater based on land use–land cover and groundwater quality on increasing rural to urban areas,” yang ditulis oleh Arif Gunawan, Dasapta Erwin Irawan, Achmad Darul, dan Rusmawan Suwarman. Makalah ini baru saja diterbitkan di jurnal Environmental Monitoring and Assessment (https://rdcu.be/eTsv4).

Temuan Utama: Batas Aman Telah Terlampaui

Kementerian Kesehatan Indonesia menetapkan batas aman maksimum untuk fosfat dalam air minum sebesar 0,2 miligram per liter (mg/L).

Namun, ketika sampel dianalisis di seluruh wilayah SLGB, konsentrasi fosfat rata-rata mencapai 0,627 mg/L. Konsentrasi rata-rata ini jauh melampaui ambang batas toleransi. Temuan ini menunjukkan kontaminasi yang meluas, yang membuat air tanah tidak layak untuk dikonsumsi di banyak wilayah.

Klik tautan untuk membaca makalah.

Dari Mana Asal Pencemaran Ini?

Sumber kontaminasi terkait langsung dengan bagaimana kita menggunakan lahan (penggunaan lahan-tutupan lahan atau LULC) di wilayah tersebut.

1. Kawasan Permukiman: Masalah Terbesar

Kawasan yang diperuntukkan bagi permukiman dan hunian menunjukkan konsentrasi fosfat rata-rata tertinggi, yaitu 1,107 mg/L. Kontaminasi parah ini terutama disebabkan oleh:

  • Sistem Pembuangan Limbah yang Bermasalah: Sistem pembuangan air limbah domestik yang tidak memadai, seperti tangki septik yang bocor, memungkinkan limbah kaya fosfat meresap langsung ke dalam tanah dan akuifer.
  • Produk Rumah Tangga: Penggunaan sabun, deterjen, dan produk pembersih rumah tangga lainnya yang mengandung fosfat secara berlebihan juga menambah pencemaran yang berkelanjutan.

2. Pertanian dan Industri

  • Praktik Pertanian: Kawasan pertanian (termasuk sawah) berkontribusi signifikan, dengan konsentrasi rata-rata 0,337 mg/L. Pencemaran ini berasal dari aplikasi pupuk NPK (nitrogen, fosfor, dan kalium) serta pestisida yang berlebihan.
  • Limbah Industri: Pengelolaan limbah padat dan air limbah dari berbagai kegiatan industri yang tidak tepat juga melepaskan fosfat ke lingkungan.

Kontaminasi tidak terdistribusi secara merata: Kabupaten Gresik mencatat konsentrasi fosfat rata-rata tertinggi di wilayah studi, mencapai puncaknya pada 1,201 mg/L, yang menunjukkan bahwa kabupaten ini menjadi sumber kontaminasi kritis.

Klik tautan untuk membaca makalah.

Mengapa Sumur Dangkal Paling Berisiko

Penelitian ini menyoroti perbedaan penting berdasarkan kedalaman sumur:

  • Akuifer Dangkal Terkontaminasi: Sumur air tanah dengan kedalaman kurang dari 50 meter (akuifer tak tertekan) sangat rentan, menunjukkan konsentrasi fosfat yang jauh lebih tinggi dibandingkan sumur dalam. Air tanah dangkal sering menjadi “penerima pertama” kontaminan yang meresap dari permukaan.
  • Akuifer Dalam Saat Ini Terlindungi: Akuifer yang lebih dalam terlindungi oleh lapisan lempung alami (aquitard), yang menjaga kualitas air lebih baik dengan membatasi pergerakan polutan permukaan ke bawah.

Apa Yang Harus Dilakukan? Langkah-Langkah untuk Melindungi Air Kita

Melindungi air tanah di Cekungan Surabaya-Lamongan memerlukan pengintegrasian praktik penggunaan lahan dengan pengelolaan sumber daya air. Dengan mengatasi sumber pencemaran saat ini, kita dapat memastikan pasokan air yang aman dan berkelanjutan untuk masa depan. Untuk melindungi kesehatan masyarakat yang bergantung pada SLGB, intervensi yang tertarget dan berbasis bukti sangat diperlukan:

  1. Prioritaskan Perbaikan Sistem Septik: Tindakan segera harus memprioritaskan peningkatan kinerja sistem septik domestik, terutama di kawasan permukiman padat yang menunjukkan kadar fosfat tinggi.
  2. Kendalikan Limpasan Pertanian: Pemerintah perlu merumuskan dan menerapkan strategi untuk mengurangi penggunaan pupuk fosfat dan memitigasi limpasan nutrisi dari kawasan pertanian.
  3. Bangun Zona Penyangga: Membuat zona penyangga vegetatif atau struktural di sekitar sumber air tanah dangkal di kawasan pertanian intensif dapat membantu menyaring kontaminan sebelum mencapai akuifer.
  4. Lindungi Air Dalam: Regulasi ketat tentang konstruksi dan kedalaman sumur dalam sangat penting. Ekstraksi berlebihan dari akuifer dalam harus dihindari karena berisiko merusak lapisan lempung pelindung dan menarik air dangkal yang terkontaminasi ke bawah.
  5. Pemantauan Wajib: Diperlukan komitmen jangka panjang untuk membangun jaringan pemantauan berkelanjutan terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, termasuk pengujian wajib triwulanan untuk sumur dangkal, guna melacak tren dan mengukur efektivitas upaya mitigasi pencemaran.

Klik tautan untuk membaca makalah.

Untuk informasi lebih rinci kontak: dasaptaerwin.at.itb.ac.id 

Hits: 3

No Comments

Post a Comment

Your email address will not be published.

EnglishIndonesia